Kamis, 01 Juni 2017

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1969 TENTANG SUSUNAN DAN TATA KERJA KEPELABUHANAN DAN DAERAH PELAYARAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 1969
TENTANG
SUSUNAN DAN TATA KERJA KEPELABUHANAN DAN DAERAH PELAYARAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
a.         bahwa masalah kepelabuhanan merupakan faktor yang tidak terpisah dalam sistem ekonomi negara secara keseluruhan, maka Institut Kepelabuhanan perlu disesuaikan dengan landasan baru tentang kebijaksanaan umum dalam Ekonomi dan Keuangan;
b.         bahwa pelabuhan sebagai prasarana ekonomi merupakan penunjang bagi perkembangan Industri, Perdagangan maupun Pelayaran, oleh karenanya sistem pengelolaan perlu disesuaikan dengan fungsinya.

Mengingat:
1.         Pasal 5 ayat 2 Undang-undang Dasar 1945;
2.         Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XXIII/MPRS/1966;
3.         Undang-undang Pelayaran Indonesia tahun 1936 (Stbl. 936 Nomor 700);
4.         Reglement-reglement tentang pelabuhan dan tata-tertib bandar;
5.         Undang-undang Nomor 25 tahun 1968 (Lembaran Negara tahun 1968 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2879) tentang pernyataan tidak berlakunya berbagai PENPRES dan PERPRES.

MEMUTUSKAN:

Dengan mencabut Peraturan Presiden Nomor 18 tahun 1964 (Lembaran Negara tahun 1964 Nomor 49) beserta semua peraturan-peraturan pelaksanaannya.

Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG SUSUNAN DAN TATA KEPELABUHAN DAN DAERAH PELAYARAN

BAB I
KETENTUAN-KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan Pelabuhan: adalah lingkungan kerja dan tempat berlabuh bagi kapal-kapal dan kendaraan air lainnya untuk menyelenggarakan bongkar-muat barang, hewan dan penumpang; Pelabuhan yang diusahakan: adalah pelabuhan dalam pembinaan Pemerintah yang sesuai kondisi, kemampuan dan perkembangan potensinya diusahakan menurut asas-asas/hukum perusahaan atas ketetapan Menteri;
Pelabuhan yang tidak diusahakan: adalah pelabuhan dalam pembinaan Pemerintah yang sesuai kondisi, kemampuan dan perkembangan potensinya masih lebih menonjol sifat "overheidszorg" dan atau yang belum ditetapkan sebagai pelabuhan yang diusahakan;
Pelabuhan otonom: adalah pelabuhan yang diserahi wewenang untuk mengatur diri sendiri dengan suatu peraturan perundangan tersendiri;
Pelabuhan khusus: adalah pelabuhan yang khusus untuk melayani suatu kegiatan industri yang penyelenggaraannya dilakukan oleh perusahaan yang bersangkutan;
Pelabuhan Laut dan Pelabuhan Pantai: adalah pelabuhan sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Pelayaran Indonesia tahun 1936 dan Peraturan Perundang-undangan lainnya;
Administrator Pelabuhan: adalah pejabat yang oleh Menteri ditetapkan sebagai pimpinan umum di pelabuhan-pelabuhan tertentu yang diusahakan;
Kepala Pelabuhan: ialah pejabat yang oleh Menteri ditetapkan sebagai pimpinan umum di pelabuhan-pelabuhan yang tidak diusahakan dan di pelabuhan-pelabuhan tertentu yang diusahakan;
Menteri: adalah Menteri Perhubungan.

Pasal 2
Pelabuhan sebagai "terminal point" untuk kapal laut serta kendaraan air lainnya, merupakan komponen logistik-teknis yang tidak terpisahkan daripada penyelenggaraan angkutan laut.
Dalam fungsinya sebagai terminal point, pelabuhan merupakan lingkungan kerja khusus yang penyelenggaraannya dan pengusahaannya diwujudkan dalam bentuk penanggung jawab tunggal dan umum di bawah Menteri atau Pejabat yang ditunjuknya.

Pasal 3
(1)        Pelabuhan meliputi:
a.         lingkungan kerja yang terdiri atas luas perairan termasuk batas-batas perairan pelabuhan dan luas daratan untuk keperluan terminal;
b.         lingkungan kepentingan pelabuhan.
(2)        Lingkungan kerja pelabuhan meliputi segala fasilitas teknisnya yang memungkinkan pelaksanaan penyelenggaraan angkatan laut maupun usaha-usaha terminal;
(3)        Lingkungan kepentingan pelabuhan ialah lingkungan di sekeliling lingkungan kerja pelabuhan dimana penggunaan tanah dan pembangunan gedung-gedung dan lain bangunan dilakukan setelah mendapat persetujuan pejabat yang ditunjuk Menteri dan mendengar Menteri Dalam Negeri atau pejabat-pejabat yang ditunjuknya. Demikian pula dimana perlu, maka akan mencakup lingkungan untuk penyelenggaraan angkutan melalui sungai dan terusan.

Pasal 4
Batas-batas lingkungan kerja pelabuhan dan batas lingkungan kepentingan pelabuhan ialah sebagaimana diatur dalam peraturan-peraturan yang ditetapkan untuk masing-masing pelabuhan oleh Menteri setelah mendengar Menteri Dalam Negeri dan Gubernur/Kepala Daerah yang bersangkutan.

Pasal 5
Menteri cq Direktur Jenderal Perhubungan Laut membina dan mengarahkan penggunaan fasilitas-fasilitas kepelabuhanan untuk kapal-kapal laut dan kendaraan air lainnya untuk keperluan:
a.         melabuh dan menambat kapal-kapal guna embarkasi dan debarkasi penumpang, bongkar-muat barang, hewan dan lain-lain;
b.         pemberian fasilitas untuk pelbagai keperluan kapal;
c.         pemeriksaan-pemeriksaan bertalian dengan peraturan-peraturan keselamatan dan tata-tertib pelayaran serta tata-tertib bandar;
d.         penyaluran barang-barang untuk masuk dan keluar pelabuhan;
e.         pemeriksaan-pemeriksaan bertalian dengan peraturan-peraturan Instansi-instansi Pemerintah lainnya yang mempunyai suatu tugas Pemerintahan terhadap lalu-lintas barang dan penumpang seperti bea-cukai, kesehatan, pertanian, perdagangan dan lain-lain.

Pasal 6
Pembinaan dan pengusahaan pelabuhan sebagai "terminal point" untuk kapal laut/kendaraan air lainnya meliputi:
a.         penyediaan alur-alur pelayaran dan luas perairan untuk lalu-lintas pelayaran dan melabuh;
b.         penyediaan jasa-jasa yang berhubungan dengan pemanduan kapal-kapal (pilotage) dan tata-tertib bandar;
c.         penyediaan jembatan untuk bertambat, bongkar, muat dan lain-lain;
d.         penyediaan gudang-gudang dan tempat-tempat penimbunan barang-barang;
e.         penyediaan tanah untuk pelbagai bangunan, lapangan sehubungan dengan kepentingan pendistribusian barang;
f.          fasilitas bunkering, bahan bakar dan air;
g.         jaring-jaring jalan dan jembatan, saluran pembuangan air, saluran listrik, air minum, pemadam kebakaran dan lain- lain;
h.         perencanaan dan perijinan penggunaan tanah.

BAB II
KEDUDUKAN DAN HUBUNGAN KERJA

Pasal 7
(1)        Menteri mengatur sepenuhnya segala sesuatu yang bertalian dengan penyelenggaraan pelabuhan dan menunjuk seorang pejabat yang memegang tanggung jawab dan pimpinan umum yaitu Administrator Pelabuhan atau Kepala Pelabuhan;
(2)        Instansi-instansi pemerintahan di pelabuhan yang menyelenggarakan suatu tugas pemerintahan terhadap lalu-lintas pelayaran, barang dan penumpang, menjalankan tugasnya dengan mengindahkan tata-tertib umum dan pengusahaan pelabuhan yang ditetapkan oleh Administrator Pelabuhan atau Kepala Pelabuhan. Instansi-instansi tersebut secara hierarchies fungsionil tetap berada di bawah pimpinan masing-masing Departemen.

Pasal 8
Administrator Pelabuhan atau Kepala Pelabuhan mengadakan koordinasi kerja lateral dengan Pemerintah Daerah setempat yang bersangkutan.

BAB III
FUNGSI DAN PENGGOLONGAN PELABUHAN

Pasal 9
Menteri menetapkan pembukaan pelabuhan-pelabuhan dalam fungsi maupun penggolongannya untuk melayani perdagangan internasional, nasional, regional, lokal dan keperluan khusus atas pertimbangan dan saran-saran dari Menteri Perdagangan/Menteri Keuangan ataupun Pemerintah Daerah.

Pasal 10
Persyaratan umum tentang pembangunan pelabuhan khusus dan penggunaannya ditetapkan oleh Menteri.

BAB IV
ORGANISASI DAN PENGELOLAAN PELABUHAN

Pasal 11
1.         Pembinaan pelabuhan-pelabuhan yang tersebar di seluruh Nusantara harus tersusun dalam sistem kepelabuhanan nasional, yang dilaksanakan oleh Departemen Perhubungan;
2.         Komponen-komponen pelaksana utama dalam pelabuhan adalah kesatuan-kesatuan organik Departemen Perhubungan/Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, dilengkapi dengan instansi-instansi Pemerintah lainnya yang mempunyai tugas terhadap lalu-lintas pelayaran, penumpang dan barang;
3.         Penyusunan organisasi pembinaan pelabuhan berasaskan penanggung jawab tunggal dan umum guna mewujudkan pengintegrasian antara unsur-unsur pemberi jasa di satu pihak dan unsur-unsur pengguna jasa di lain pihak;
4.         Susunan organisasi kepelabuhanan disesuaikan dengan kebutuhan, situasi dan kondisi setempat.

Pasal 12
(1)        Pimpinan umum di pelabuhan-pelabuhan tertentu yang diusahakan adalah Administrator Pelabuhan dibantu oleh Badan Musyawarah Pelabuhan (B.M.P.);
(2)        Pimpinan umum di pelabuhan-pelabuhan yang tidak diusahakan dan di pelabuhan-pelabuhan yang diusahakan yang tidak termasuk ayat 1 pasal ini adalah Kepala Pelabuhan.

Pasal 13
Menteri mengangkat dan menetapkan Administrator Pelabuhan dan Kepala Pelabuhan.

Pasal 14
Bagi pelabuhan-pelabuhan otonom, penyelenggaraan pengelolaan dan organisasinya akan diatur dengan peraturan tersendiri.

Pasal 15
(1)        Badan Musyawarah Pelabuhan (B.M.P.) bertugas membantu mengadakan pemikiran terhadap masalah-masalah yang memerlukan pemecahan bersama dalam pendayagunaan dan pengusahaan Pelabuhan;
(2)        Hasil musyawarah B.M.P. dalam usahanya tersebut di atas, merupakan pedoman pelaksanaan bagi Administrasi Pelabuhan;
(3)        B.M.P. beranggotakan:
a.         Wakil-wakil Departemen yang secara vertikal mempunyai tugas langsung dengan kegiatan kepelabuhanan setempat serta Utusan dari Pemerintah Daerah yang bersangkutan;
b.         Wakil-wakil dari organisasi swasta dan badan-badan resmi yang mempunyai kegiatan usaha di pelabuhan setempat.
(4)        Anggota-anggota B.M.P. ditunjuk oleh masing-masing instansi tersebut ayat (3) pasal ini dan diusulkan melalui Administrator Pelabuhan untuk diangkat/ditetapkan oleh Menteri;
(5)        Menteri menetapkan Ketua B.M.P. dengan berpedoman pada usul-usul hasil musyawarah dari para anggota B.M.P.

Pasal 16
Dalam menyelenggarakan keamanan di wilayah pelabuhan kepada Administrator Pelabuhan/Kepala Pelabuhan diperbantukan kesatuan-kesatuan dari instansi Hankam, yang taktis operasional berada di bawah Administrator/Kepala Pelabuhan.

Pasal 17
Menteri bertanggung jawab terhadap pembinaan kepelabuhanan khususnya mengenai aspek pendayagunaan dan perkembangan pelabuhan-pelabuhan di Indonesia.

Pasal 18
(1)        Pelabuhan-pelabuhan yang terletak dalam satu atau beberapa Daerah tingkat I/Propinsi yang dipandang dari sudut kepentingan pembinaan dan perkembangan pelayaran daerah merupakan suatu wilayah kesatuan ekonomi, dikoordinir oleh Kepala Daerah Pelayaran yang bertugas sebagai wakil Departemen Perhubungan;
(2)        Kepala Daerah Pelayaran dalam menjalankan tugasnya untuk mengembangkan urusan pemerintahan berkenaan dengan sektor perhubungan laut bekerja sama dengan Pemerintah Daerah bersangkutan dan instansi-instansi Pemerintah lainnya;
(3)        Susunan dan jumlah pelabuhan-pelabuhan serta tugas-tugas dari Kepala Daerah Pelayaran ditetapkan oleh Menteri.

BAB V
PEMBIAYAAN DAN PERTANGGUNGAN-JAWAB KEUANGAN

Pasal 19
(1)        Sumber pendapatan pelabuhan berasal:
a.         pungutan atas jasa-jasa dan fasilitas pelabuhan;
b.         anggaran Pemerintah;
c.         sumber-sumber lainnya.
(2)        Jasa-jasa dan fasilitas pelabuhan yang boleh dipungut atau dikenakan kepada para pemakainya akan diatur dalam peraturan tersendiri;
(3)        Sumber-sumber pendapatan tersebut dalam ayat (1) sub c pasal ini akan diatur oleh Menteri.

Pasal 20
(1)        Pembiayaan dari pelabuhan-pelabuhan diatur menurut kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:
a.         yang sepenuhnya dibiayai oleh Pemerintah (Pusat);
b.         yang dibiayai oleh Pemerintah (Pusat) bersama dengan Daerah;
c.         yang dibiayai dari hasil pelabuhan itu sendiri (otonom).
(2)        Menteri mengatur sistem pembiayaan pelabuhan sesuai dengan kemungkinan tersebut ayat (1) di atas.

Pasal 21
(1)        Pertanggungan-jawab keuangan bagi pelabuhan-pelabuhan yang diusahakan diatur menurut ketentuan-ketentuan I.B.W. dan atau menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
(2)        Pertanggungan jawab keuangan bagi pelabuhan-pelabuhan yang tidak diusahakan diatur menurut ketentuan-ketentuan I.C.W.

BAB VI
KETENTUAN-KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 22
Susunan organisasi dan pengelolaan (management) pelabuhan yang ada pada saat ini harus disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah ini selambat-lambatnya dalam jangka waktu 90 hari sejak ditetapkannya.

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 23
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, akan diatur kemudian oleh Menteri.

Pasal 24
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada hari ditetapkan. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini, dengan penempatan dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.


Ditetapkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 18 Januari 1969
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
SOEHARTO.
Jenderal T.N.I.

Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 18 Januari 1969
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
ALAMSJAH.

Mayor Jenderal T.N.I.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar