Selasa, 19 September 2017

Pemanduan Kapal

Pemanduan adalah kegiatan pandu dalam membantu, memberikan saran, dan informasi kepada Nakhoda tentang keadaan perairan setempat yang penting agar navigasipelayaran dapat dilaksanakan dengan selamat, tertib, dan lancar demi keselamatan kapal dan lingkungan.

Pandu adalah pelaut yang mempunyai keahlian di bidang nautika yang telah memenuhi persyaratan untuk melaksanakan pemanduan kapal. 

Untuk kepentingan keselamatan, keamanan berlayar, perlindungan lingkungan maritim, serta kelancaran berlalu lintas di perairan, pelabuhan dan terminal khusus, perairan tertentu, Menteri menetapkan perairan wajib pandu dan perairan pandu luar biasa.

Penetapan perairan wajib pandu dan perairan pandu luar biasa harus memenuhi kriteria:
a. faktor di luar kapal yang mempengaruhi keselamatan berlayar; dan
b. faktor kapal yang mempengaruhi keselamatan berlayar.

 Kriteria faktor di luar kapal yang mempengaruhi keselamatan berlayar meliputi:
a. panjang alur perairan;
b. banyaknya tikungan;
c. lebar alur perairan;
d. rintangan/bahaya navigasi di alur perairan;
 e. kecepatan arus;
f. kecepatan angin;
g. tinggi ombak;
h. ketebalan/kepekatan kabut;
 i. jenis tambatan kapal; dan
j. keadaan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran.

Kriteria faktor kapal yang mempengaruhi keselamatan berlayar meliputi:
a. frekuensi kepadatan lalu lintas kapal;
b. ukuran kapal (tonase kotor, panjang, dan sarat kapal);
c. jenis kapal; dan
d. jenis muatan kapal.


Kriteria sebagaimana dimaksud diatas diberi nilai pembobotan.

Perairan wajib pandu sebagaimana dimaksud diatas  diklasifikasikan dalam:
a. perairan wajib pandu Kelas I;
b. perairan wajib pandu Kelas II; dan
 c. perairan wajib pandu Kelas III.

Pembagian kelas sebagaimana dimaksud diatas dilakukan berdasarkan pada kriteria sebagaimana dimaksud dalam  Pelaksanaan pemanduan di perairan wajib pandu dan perairan pandu luar biasa harus dilakukan oleh petugas pandu.

Petugas pandu harus memenuhi persyaratan:
a. berijazah pelaut ahli nautika;
b. mempunyai pengalaman berlayar sebagai Nakhoda paling sedikit 3 (tiga) tahun;
c. lulus pendidikan dan pelatihan pandu yang diselenggarakan oleh Pemerintah; dan
d. sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan keterangan kesehatan dari rumah sakit pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri.

 Pelayanan pemanduan bagi kapal dengan sarat 15 (lima belas) meter atau lebih di luar perairan pelabuhan dilakukan oleh petugas pandu laut dalam.

 Petugas pandu dapat ditetapkan sebagai petugas pandu laut dalam setelah lulus pendidikan pelatihan pandu laut dalam.

 Dalam pelaksanaan pemanduan:
 a. petugas pandu wajib memberikan petunjuk dan keterangan yang diperlukan Nakhoda atau pemimpin kapal serta membantu olah gerak kapal; dan
b. Nakhoda atau pemimpin kapal harus memberikan keterangan mengenai data dan karakteristik yang berkaitan dengan olah gerak kapalnya kepada petugas pandu.

 Petugas pandu wajib segera melaporkan kepada Syahbandar apabila menemukan adanya kekurangan persyaratan kelaiklautan kapal.

 Pada perairan yang ditetapkan sebagai perairan wajib pandu, kapal berukuran tonase kotor GT 500 (lima ratus Gross Tonnage) atau lebih wajib dipandu.

 Pada perairan yang ditetapkan sebagai perairan pandu luar biasa pelayanan pemanduan dilakukan atas permintaan Nakhoda.

Penyelenggaraan pemanduan pada perairan wajib pandu dan pada perairan pandu luar biasa ) dilakukan oleh Otoritas Pelabuhan atau Unit Penyelenggara Pelabuhan.

Dalam hal Otoritas Pelabuhan atau Unit Penyelenggara Pelabuhan belum menyediakan jasa pandu di perairan wajib pandu dan pandu luar biasa yang berada di alur pelayaran dan wilayah perairan pelabuhan, pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada badan usaha pelabuhan yang memenuhi persyaratan setelah memperoleh izin dari Menteri.

 Dalam hal Otoritas Pelabuhan atau Unit Penyelenggara Pelabuhan belum menyediakan jasa pandu di perairan wajib pandu dan pandu luar biasa yang berada di dalam wilayah perairan terminal khusus, pengelolaan dan pengoperasian pemanduan dapat dilimpahkan kepada pengelola terminal khusus yang memenuhi persyaratan setelah memperoleh izin dari Menteri.

 Dalam hal pengelola terminal khusus tidak memenuhi persyaratan, pengelolaan dan pengoperasian pemanduan dapat dilimpahkan kepada badan usaha pelabuhan terdekat yang memenuhi persyaratan setelah memperoleh izin dari Menteri.
 Persyaratan  meliputi:
a. menyediakan petugas pandu yang memenuhi persyaratan ;

b. menyediakan sarana bantu dan prasarana pemanduan yang memenuhi persyaratan;
c. memberikan pelayanan pemanduan sesuai dengan sistem dan prosedur pelayanan yang ditetapkan.

Penyelenggaraan pemanduan yang dilakukan oleh Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan dipungut biaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penyelenggaraan pemanduan yang dilakukan oleh badan usaha pelabuhan dipungut biaya yang besarnya ditetapkan oleh badan usaha pelabuhan berdasarkan jenis, struktur, dan golongan tarif yang ditetapkan oleh Menteri.

Badan usaha pelabuhan yang mengelola dan mengoperasikan pemanduan wajib membayar persentase dari pendapatan yang berasal dari jasa pemanduan kepada Kas Negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak.

Biaya pemanduan sebagaimana dimaksud dalam tidak dikenakan bagi:
a. kapal perang; dan
b. kapal negara yang digunakan untuk tugas pemerintahan.

Mengenai tata cara penentuan kelas perairan wajib pandu, tata cara penetapan perairan wajib pandu dan perairan pandu luar biasa, pendidikan dan pelatihan petugas pandu, kewajiban petugas pandu, dan penyelenggaraan pemanduan diatur dengan Peraturan Menteri.

Minggu, 10 September 2017

PELABUHAN UMUM DAN PELABUHAN (TERMINAL) KHUSUS

PelabuhanDefinisiBerdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang pelayaran, definisi pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat barang, berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra-dan antarmoda transportasi.
Peran PelabuhanBerdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 tahun 2009 bab II pasal 4, pelabuhan memiliki peran sebagai:
  1. simpul dalam jaringan transportasi sesuai hierarkinya;
  2. pintu gerbang kegiatan perekonomian;
  3. tempat kegiatan alih moda transportasi;
  4. penunjang kegiatan industri dan/atau perdagangan;
  5. tempat distribusi, produksi, dan konsolidasi muatan atau barang; dan
  6. mewujudkan Wawasan Nusantara dan kedaulatan negara.
Keputusan Menteri Perhubungan RI nomor 54 tahun 2002 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan bab III pasal 5 ayat 2, menjelaskan mengenai jangka waktu perencanaan dalam rencana induk pelabuhan dibagi menjadi 3, yaitu:
  • Jangka panjang yaitu di atas 15 (lima belas) tahun sampai dengan 25 (dua puluh lima) tahun.
  • Jangka menengah yaitu di atas 10 (sepuluh) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun.
  • Jangka pendek yaitu 5 (lima) tahun sampai dengan 10 (sepuluh) tahun.
Hierarki Pelabuhan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 tahun 2009 bagian kedua pasal 6 ayat 3, menyatakan bahwa pelabuhan laut secara hierarki terdiri atas:

1. Pelabuhan utama
Pelabuhan utama adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri dan internasional, alih muat angkutan laut dalam negeri dan internasional dalam jumlah dalam jumlah besar, dan sebagai tempat asal tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan dengan jangkauan pelayanan antarprovinsi.
2. Pelabuhan pengumpul
Pelabuhan pengumpul adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri, alih muat angkutan laut dalam negeri dalam jumlah menengah, dan sebagai tempat asal tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan dengan jangkauan pelayanan antarprovinsi.
3. Pelabuhan pengumpan
Pelabuhan pengumpan adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri, alih muat angkutan laut dalam negeri dalam jumlah terbatas, merupakan pengumpan bagi pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul, dan sebagai tempat asal tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan dengan jangkauan pelayanan dalam provinsi.

Terminal

DefinisiBerdasarkan undang-undang Republik Indonesia nomor 17 tahun 2008 tentang pelayaran, bab I pasal 1 ayat 20, dituliskan bahwa definisi terminal adalah fasilitas pelabuhan yang terdiri atas kolam sandar dan tempat bersandar atau tambat, tempat penumpukan, tempat menunggu dan naik turun penumpang, dan/atau tempat bongkar muat barang.
Jenis-jenis TerminalTerminal dibagi berdasarkan komoditas yang dilayani. Jenis-jenis terminal di pelabuhan antara lain:

A. Terminal Umum

1. Terminal peti kemas
4
Terminal Peti Kemas Surabaya
2. Terminal penumpang





T










Terminal Penumpang International BP Batam Batam Center (Sinergy Tharada)

3. Terminal curah kering
6
Terminal Curah Kering Cirebon


4. Terminal curah cair
7
Terminal Curah Cair Kabil


5. Car terminal
8
Car Terminal di Pelabuhan Tanjung Priok

6. Terminal konvensional
9
Terminal Konvensional BP Batam Batu Ampar
7. Terminal RO-RO













Terminal Ro-RO Port Sekupang Batam

B. Terminal Khusus

Terminal Khusus (Tersus) adalah terminal yang terletak DILUAR Daerah Lingkungan Kerja (DLKr) dan Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan (DLKp), yang merupakan bagian dari pelabuhan terdekat untuk melayani kepentingan sendiri sesuai dengan usaha pokoknya.



  Untuk menunjang kegiatan tertentu di luar Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan laut serta pelabuhan sungai dan danau dapat
dibangun terminal khusus untuk kepentingan sendiri guna menunjang kegiatan usaha pokoknya.
Terminal khusus:
a.   ditetapkan menjadi bagian dari pelabuhan terdekat;
b.  wajib memiliki Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan tertentu; dan
c.   ditempatkan instansi Pemerintah yang melaksanakan fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran, serta instansi yang melaksanakan fungsi pemerintahan sesuai dengan kebutuhan.
(pasal 110 PP 61/2009 dan pasal 2 PERMENHUB 51/2009)

Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan tertentu sebagaimana dimaksud pada pasal 2 ayat (2) huruf b, digunakan untuk:
a.   lapangan penumpukan;
b.  tempat kegiatan bongkar muat;
c.   alur-pelayaran dan perlintasan kapal;
d.  olah gerak kapal;
e.   keperluan darurat; dan
f.   tempat labuh kapal
(pasal 2 ayat 3 PERMENHUB 51/2011)

2.  Terminal khusus hanya dapat dibangun dan dioperasikan
apabila:
a.  pelabuhan terdekat tidak dapat menampung kegiatan
pokok instansi pemerintah atau badan usaha; dan
b.  berdasarkan pertimbangan ekonomis dan teknis
operasional akan lebih efektif dan efisien serta lebih
menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran.
(pasal 111 PP 61/2009)

Terminal Khusus dapat juga digunakan untuk menunjang usaha anak perusahaan sesuai dengan usaha pokok yang sejenis dan pemasok bahan baku dan peralatan penunjang produksi untuk keperluan badan usaha yang bersangkutan.
Kegiatan usaha pokok antara lain:
a.   pertambangan;
b.  energi;
c.   kehutanan;
d.  pertanian;
e.   perikanan;
f.   industri;
g.  pariwisata; dan
h.   dok dan galangan kapal.
Selain kegiatan usaha pokok, terminal khusus dapat dibangun dan dioperasikan untuk menunjang kegiatan pemerintahan, penelitian, pendidikan dan pelatihan serta sosial. (pasal 3 ayat 2-4 PERMENHUB 51/2011)

3.   Lokasi terminal khusus yang akan di bangun ditetapkan oleh Menteri sesuai dengan rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.  (pasal 112 PP 61/2009)

Lokasi pembangunan terminal khusus ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat rekomendasi dari gubernur dan bupati / walikota mengenai kesesuaian rencana lokasi terminal khusus dengan rencana tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten / kota.
Penetapan lokasi terminal khusus dilakukan dengan mempertimbangkan aspek sebagai berikut:
a.   kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota;
b.  berdasarkan pertimbangan ekonomis dan teknis operasional yang lebih efektif dan efisien serta lebih menjamin keselamatan pelayaran apabila membangun dan mengoperasikan terminal khusus;
c.   keselamatan dan keamanan pelayaran;
d.  pelabuhan yang ada tidak dapat melayani jasa pelabuhan untuk kegiatan tertentu karena keterbatasan kemampuan fasilitas yang tersedia; dan
e.   pertahanan dan keamanan negara.
(pasal 5 PERMENHEB 51/2011)

Untuk memperoleh penetapan lokasi terminal khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), pemohon mengajukan permohonan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal dengan menggunakan format menurut contoh 1 pada Lampiran Peraturan ini, disertai dengan dokumen persyaratan sebagai berikut:
a.   salinan surat izin usaha pokok dan instansi terkait;
b.  letak lokasi yang diusulkan dilengkapi dengan koordinat geografis yang digambarkan dalam peta laut;
c.   studi kelayakan yang paling sedikit memuat:
(1) rencana volume bongkar muat bahan baku, peralatan penunjang dan hasil produksi;
(2) rencana frekuensi kunjungan kapal;
(3) aspek ekonomi yang berisi tentang efisiensi dibangunnya terminal khusus dan aspek lingkungan; dan
(4) hasil survei yang meliputi hidrooceanografi (pasang surut, gelombang, kedalaman dan arus), topografi, titik nol (benchmark) lokasi pelabuhan yang dinyatakan dalam koordinat geografis;
d.  rekomendasi dari Syahbandar pada Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan setempat berkoordinasi dengan Kantor Distrik Navigasi setempat mengenai aspek keamanan dan keselamatan pelayaran yang meliputi kondisi perairan berdasarkan hasil survei sebagaimana dimaksud pada huruf c angka 4 setelah mendapat pertimbangan dari Kepala Kantor Distrik Navigasi setempat; dan
e.   rekomendasi gubernur dan bupati/walikota setempat mengenai kesesuaian rencana lokasi terminal khusus dengan rencana tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten/ kota.
Direktur Jenderal melakukan penilaian dan menyampaikan hasil penilaian terhadap pemenuhan persyaratan kepada Menteri dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap.
Penetapan lokasi atau penolakan diberikan oleh Menteri paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.
Penolakan permohonan diberikan oleh Menteri secara tertulis disertai alasan penolakan.
(pasal 6 ayat 1-4 PERMENHUB 51/2011)

Pemegang keputusan penetapan lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan penetapan lokasi ditetapkan oleh Menteri, wajib memulai pekerjaan persiapan dan mengajukan permohonan izin pembangunan terminal khusus.
(pasal 7 PERMENHUB 51/2011)

4.   Pengelolaan terminal khusus dapat dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, atau badan usaha sebagai pengelola terminal khusus. (pasal 113 PP 61/2009)

5.   Terminal khusus wajib memiliki Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan tertentu yang digunakan untuk :
a.   lapangan penumpukan;
b.  tempat kegiatan bongkar muat;
c.   alur-pelayaran dan perlintasan kapal;
d.  olah gerak kapal;
e.   keperluan darurat; dan
f.   tempat labuh kapal.
(pasal 115 PP 61/2009)