Selasa, 28 Maret 2017

PELABUHAN TERBUKA BAGI PERDAGANGAN LUAR NEGERI PELABUHAN LAUT BADAN PENGUSAHAAN BATAM


Pelabuhan Laut Badan Pengusahaan Batam sebagai Pelabuhan Kelas I Pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri tentunya mewajibkan ketentuan dan Persyaratan yang perlu dipenuhi sebagai berikut:

(1).          Pelabuhan umum dan pelabuhan khusus dapat ditetapkan sebagai pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri.
(2).          Kegiatan pada pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri meliputi kegiatan lalu lintas kapal, penumpang, barang dan/atau hewan.
(3).          Pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dapat disinggahi kapal-kapal berbendera Indonesia dan/atau bendera asing yang berlayar dari dan atau ke luar negeri.


(1).          Penetapan pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri dilakukan dengan mempertimbangkan:
a.              Tatanan Kepelabuhanan Nasional;
b.              Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi daerah yang mengakibatkan meningkatnya mobilitas orang, barang dan kendaraan dari dan ke luar negeri;
c.              Kepentingan pengembangan kemampuan angkutan laut nasional yaitu dengan meningkatnya kerja sama antara perusahaan pelayaran nasional dengan perusahaan pelayaran asing dalam rangka melayani permintaan angkutan laut dari dan ke luar negeri;
d.              Pengembangan ekonomi nasional yang telah meningkatkan peran serta swasta dan masyarakat dalam pembangunan nasional, sehingga menuntut pengembangan pelayanan angkutan laut yang memiliki jangkauan pelayanan yang lebih luar dengan kualitas yang makin baik;
e.              Kepentingan nasional lainnya yang mendorong sektor pembangunan lainnya.
(2).          Persyaratan penetapan pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri:
a.              aspek administrasi yang terdiri dari:
1).           rekomendasi dari Gubernur, Bupati/Walikota;
2).           rekomendasi dari pelaksana fungsi keselamatan pelayaran di pelabuhan.
b.              aspek ekonomi yang terdiri dari:
1).           menunjang industri tertentu;
2).           arus barang umum minimal 10.000 Ton/tahun;
3).           arus barang ekspor minimal 50.000 Ton/tahun.
c.              aspek keselamatan pelayaran yang terdiri dari:
1).           kedalaman perairan dimuka dermaga minimal –6 M LWS;
2).           luas kolam cukup untuk olah gerak minimal 3 (tiga) buah kapal;
3).           sarana bantu navigasi pelayaran;
4).           stasiun radio operasi pantai;
5).           prasarana, sarana dan sumber daya manusia pandu;
6).           kapal patroli.
d.              Aspek teknis fasilitas kepelabuhanan terdiri dari:
1).           dermaga beton permanen minimal 1 (satu) tambatan;
2).           gudang tertutup;
3).           peralatan bongkar muat;
4).           PMK 1 (satu) unit;
5).           Fasilitas bunker;
6).           Fasilitas pencegahan pencemaran.
e.              fasilitas kantor dan peralatan penunjang bagi instansi Bea dan Cukai, Imigrasi, dan Karantina.
(3).          Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah dipenuhi, Menteri menetapkan pelabuhan yang terbuka untuk perdagangan luar negeri setelah mendapat pertimbangan dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang perindustrian dan perdagangan serta Menteri yang bertanggung jawab dibidang keuangan.

Jumat, 17 Maret 2017

Tenaga Kerja Bongkar Muat


Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM)
Tenaga Kerja Bongkar Muat disingkat TKBM adalah merupakan salah satu jenis TKLHK. Lebih spesifik lagi, TKBM adalah salah satu bentuk hubungan hukum atau perjanjian melakukan pekerjaan melalui pemborongan (paketpekerjaan yang –nota bene– bukan hubungan kerja, sehingga tidak di-cover dalam UU Ketenagakerjaan.
Peraturan dan ketentuan mengenai TKBM tersebut sejak awal –memang– diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan sebagai bagian dari pelaksanaan ketentuan mengenai Kepelabuhanan (saat ini PP No. 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan, pengganti dari PP No. 69 Tahun 2001).
Dalam Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 14 Tahun 2002 (“Kepmenhub”) disebutkan, bahwa TKBM adalah semua tenaga kerja yang terdaftar pada pelabuhan setempat yang melakukan pekerjaan bongkar muat di pelabuhan (Pasal 1 angka 16 Kepmenhub).
Para TKBM ini bernaung di bawah Koperasi TKBM - yang dulunya diwadahi dengan Yayasan Usaha Karya (YUKA). Pembentukan Koperasi TKBM berawal dari Keputusan Bersama Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Direktur Jenderal Bina Hubungan Ketenagakerjaan dan Pengawasan Norma Kerja, dan Direktur Jenderal Bina Lembaga Koperasi NomorUM 52/1/9-89, KEP.103/BW/89, 17/SKD/BLK/VI/1989 tentang Pembentukan dan Pembinaan Koperasi Tenaga Kerja Bongkar Muat (“SKB-1989”) yang merupakan pelaksanaan dari Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1985 tentang Kebijaksanaan Kelancaran Arus Barang Untuk Menunjang Kegiatan Ekonomi.
Kemudian, SKB-1989 tersebut dicabut dan (saat ini) digantikan dengan Keputusan Bersama Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Direktur Jenderal Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Deputi Bidang kelembagaan Koperasi dan UKM Nomor: AL.59/II/12-02, -. No.300/BW/2002 - No.113/SKB/Dep-S/VIII/2002 tentang Pembinaan dan Pengembangan Koperasi TKBM di Pelabuhan tertanggal 27 Agustus 2002 (“SKB-2002”).
Sebagai tindak lanjut dari SKB-1989 tersebut, terbit Instruksi Bersama Menteri Perhubungan dan Menteri Tenaga Kerja Nomor: INS.2/HK.601/Phb-89 dan Nomor: INS-03/Men/89 tanggal 14 Januari 1989 tentang Pembentukan Koperasi di Tiap Pelabuhan sebagai pengganti Yayasan Usaha Karya (YUKA), yang sebelumnya mengelola TKBM.
Walaupun anggota Koperasi, akan tetapi para buruh TKBM itu bukan dan tidak merupakan “karyawan” dari Koperasi TKBM. Praktik pelaksanaan pekerjaan mereka persis seperti yang Saudara ceritakan dalam uraian di atas, bahwa mereka dibayar (mendapat bagian dari upah borongan) hanya ketika mereka datang dan bekerja, dan bayarannya sesuai tarif yang ditentukan Menteri Perhubungan (vide Pasal 2 jo Pasal 4 ayat (4) dan Lampiran III Kepmenhub No. 25 Thn. 2002).
Selain itu, mereka tidak terikat dengan daftar hadir (presensi) dan tidak ada waktu kerja yang ditentukan, karena tidak -dapat dipastikan- setiap hari ada pekerjaan. Demikian juga, tidak ada perintah atas pelaksanaan pekerjaan borongan, kemudian risiko serta tanggung-jawabnya langsung terhadap pekerjaan tersebut (strict liability).
Dengan demikian, bagi TKBM tidak memenuhi unsur-unsur hubungan kerja sebagaimana tersebut di atas. Dalam arti, hubungan hukum TKBM dengan Koperasi TKBM dan/atau perusahaan lainnya (termasuk Perusahaan Penyedia Jasa Bongkar Muat) bukan merupakan hubungan kerja, karena memang juga tidak ada perjanjian kerja, baik lisan maupun tertulis. Oleh karena itu -menurut hemat kami- ini (lebih mendekati) pada -hubungan hukum- pemborongan pekerjaan (aanneming van werk). Bentuk hubungan hukum (pemborongan pekerjaan oleh TKBM) semacam ini tidak diatur dalam UU Ketenagakerjaan (labour law). Walaupun demikian, jika dicermati, bentuk ini agak mirip seperti “outsourcing” yang dalam (Pasal 64) UU Ketenagakerjaan disebut sebagai penyerahan sebagian pelaksaaan pekerjaan suatu perusahaan kepada perusahaan lainnya, walau hakikatnya bukan outsourcing.
Kesimpulannya, hubungan hukum TKBM dengan Koperasi TKBM tersebut lebih tepat disebut sebagai hubungan hukum korporasi (corporate law), karena setiap buruh TKBM adalah anggota (owners) Koperasi TKBM, dan setiap mereka –hanya- boleh menjadi buruh bongkar muat dengan syarat dan ketentuan harus tergabung dalam keanggotaan Koperasi TKBM.
Pemutusan Hubungan Kerja TKBM
Mengenai kasus: adanya -buruh- yang tidak boleh masuk lagi (“ter-PHK”), dan kemudian menuntut uang PHK, sebagaimana uraian tersebut di atas, menurut hemat kami harus dikembalikan kepada hubungan hukumnya, yakni sebagai anggota Koperasi TKBM, yang nota bene hubungan hukum korporasi. Dengan perkataan lain, karena TKBM bukan hubungan kerja dan tidak didasarkan pada perjanjian kerja, maka tidak dapat diselesaikan menurut ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan, khususnya yang berkaitan dengan pemutusan hubungan kerja (“ter-PHK”) dan hak pesangon atau “uang PHK”.
ada kecenderungan pada (unsur-unsur) hubungan kerja, terlebih apabila misalnya –mereka- tidak tergabung sebagai karyawan TKBM dan bukan anggota Koperasi TKBM, serta mereka juga melakukan kegiatan penjemuran dan buang debu, menurut pendapat kami, bisa saja diselesaikan dengan cara (sesuai ketentuan) hubungan kerja (vide Pasal 1601c BW). Tinggal melihat mana yang lebih memenuhi unsur yang paling mendekati (semacam the most characteristic connection).
Berdasarkan Pasal 1601c BW, bilamana suatu hubungan hukum melakukan pekerjaan dapat dipastikan sebagai dan mengandung unsur-unsur hubungan kerja (berdasarkan perjanjian kerja), maka dapat diberlakukan ketentuan UU Ketenagakerjaan (maksudnya perjanjian perburuhan). Demikian juga apabila ada alasan PHK yang mewajibkan pengusaha membayar kompensasi atau istilah Saudara membayar “uang PHK” (uang pesangon/uang penghargaan masa kerja serta uang penggantian hak) sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003, tentunya pekerja/buruh berhak atas kompensasi uang PHK dimaksud.
Selain itu, apabila unsur-unsur hubungan kerja terpenuhi, namun hak pekerja/buruh tetap tidak diindahkan, maka tentu saja ia (para buruh bongkar muat) berhak menuntut sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang berlaku (vide Pasal 3 UU No. 2 Tahun 2004).

Dasar hukum:
a.   Burgerlijke Wetboek (KUH Perdata) dan Wetboek van Koophandel (KUHD)
g.   Instruksi Presiden Nomor 4 tahun 1985 tentang Kebijaksanaan Kelancaran Arus Barang Untuk Menunjang Kegiatan Ekonomi.
h.   Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pedoman Dasar Perhitungan Tarif Pelayanan Jasa Bongkar Muat dari dan ke Kapal di Pelabuhan
i.      Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 14 Tahun 2002 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Bongkar Muat dari dan Ke Kapal di Pelabuhan sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri No. 42 tahun 2008;
j.     Keputusan Bersama Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Direktur Jenderal Bina Hubungan Ketenagakerjaan dan Pengawasan Norma Kerja, serta Direktur Jenderal Bina Lembaga Koperasi Nomor : UM 52/1/9-89, KEP.103/BW/89, 17/SKD/BLK/VI/1989 tentang Pembentukan dan Pembinaan Koperasi Tenaga Kerja Bongkar Muat sebagaimanatelah dicabut dan digantikan dengan Keputusan Bersama Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Direktur Jenderal Pembinaan dan Pengawasan dan Deputi Bidang kelembagaan Koperasi dan UKM Nomor : AL.59/II/12-02, No. 300/BW/2002 dan No. 113/SKB/Dep-S/VIII/2002 tentang Pembinaan dan Pengembangan Koperasi TKBM di Pelabuhan;
k.    Instruksi Bersama Menteri Perhubungan dan Menteri Tenaga Kerja No. INS.2/HK.601/Phb-89 dan No. INS-03/Men/89 tanggal 14 Januari 1989 tentang Pembentukan Koperasi di tiap Pelabuhan sebagai Penganti Yayasan Usaha Karya (YUKA)

Rabu, 01 Maret 2017

Dasar Hukum Badan Pengelola dan Penyelenggaraan Pelabuhan (BPP) Laut Khusus Batam Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam

Dasar Hukum  Badan Pengelola dan Penyelenggaraan Pelabuhan (BPP) Laut Khusus Batam :




  1. Undang-Undang R.I No. 44 Tahun 2007 tentang Penetapan PERPU No.1 Tahun 2007tentang Perubahan atas UU No. 36 Tahun 2000 tentang Penetapan PERPU No.1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang -Undang
  2. Undang-Undang R.I No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
  3. Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam
  4. Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2009 Tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 No. 151, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 5070)
  5. Peraturan Pemerintah No.64 tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 2009 tentang Kepelabuhanan.
  6. Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian
  7. Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam
  8. Peraturan Pemerintah No.6 tahun 2011 tentang Pengelolaan Keuangan pada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam
  9. Keputusan Bersama Menteri Perdagangan, Menteri Keuangan dan Menteri Perhubungan No. 149/Kpb/V.77, No. 150/KMK/77 dan No. KM.119/Phb-77 tentang Pembangunan dan Pengelolaan Pelabuhan di Pulau Batam
  10. Keputusan Menteri Perhubungan No. KM.54 Tahun 2002 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan
  11. Keputusan Menteri Perhubungan No. KM.55 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Pelabuhan Khusus
  12. Keputusan Menteri Perhubungan No. KP. 25 Tahun 2009 tentang Penetapan Pelabuhan Bebas pada Kawasan perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam
  13. Peraturan Menteri Perhubungan No. KM.77 Tahun 2009 tentang Rencana Induk Pelabuhan Laut Badan Pengusahaan Batam.
  14. Keputusan Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam No. 044/KPTS/KA/IV/2005 tahun 2005 tentang Perubahan Dan Tambahan Surat Keputusan Ketua Otorita Batam No. 19/KPTS/KA/IV/2004 tentang Tarif Jasa Kepelabuhanan Di Lingkungan Pelabuhan Batam – Rempang – Galang (Barelang)
  15. Keputusan Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam No. 73/KPTS/KA/X/2006 tahun 2006 tentang Perubahan Dan Tambahan Surat Keputusan Ketua Otorita Batam No. 20/KPTS/KA/IV/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Operasional Kepelabuhanan Di Lingkungan Pelabuhan Batam – Rempang – Galang (Barelang)
  16. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 148/PMK.05/2016 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam.
  17. Peraturan Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 4 /PMK.06/2013 tentang tata cara pengelolaan aset pada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. Jenis dan Tarif Layanan pada Kantor Pelabuhan Laut Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam
  18. Peraturan Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pelaksanaan Sistem Host To Host Pembayaran Jasa Kepelabuhanan dilingkungan Pelabuhan Batam.
  19. Peraturan Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam Nomor 12 Tahun 2014 Tentang Tata Cara Pemanfaatan Asset
  20. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 57 Tahun 2015 Tentang Pemanduan dan Penundaan Kapal.
  21. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 4 /PMK.06/2013 tentang tata cara pengelolaan aset pada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam.
  22. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 134 Tahun 2016 tentang Manajemen Keamanan Kapal dan Fasilitas Pelabuhan
  23. Keputusan Bersama Menteri Perhubungan dan Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam Nomor : KP 994 Tahun 2017 –Nomor :1456/SPJ/KA/11/2017 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam.
  24. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM 33 Tahun 2003 Tentang Pemberlakuan Amandemen Solas 1974 tentang Pengamanan Kapal dan Fasilitas Pelabuhan (International Ships And Port Facility Security/ ISPS Code) di Wilayah Indonesia)
  25. Peraturan Menteri Perhubungan 134 Tahun 2016 tentang Manajemen Keamanan Kapal dan Fasilitas Pelabuhan
Pengelolaan Pelabuhan Laut Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam  Bersifat Lex Spesialis. 

Pengelolaan Pelabuhan oleh Otorita Batam/BP Batam berdasarkan Keppres 41/1973 dan Keputusan Bersama Menteri Perdagangan, Menteri Keuangan dan Menteri Perhubungan Nomor: 149/KPB/V/77, No: 150/KMK/1977 dan No: KM 119/O/PHB.77 

Pada tahun 2007 sesuai dengan UU No: 36 Tahun 2000 jo UU No. 44 Tahun 2007 dan PP 46 Tahun 2007 Pulau Batam ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dan lembaga Otorita Batam beralih menjadi Badan Pengusahaan Batam. 

Pada tahun 2008 sesuai dengan UU No. 17 Tahun 2008 telah terbit Undang-Undang yang mengatur tentang Pelayaran dimana dalam Pasal 88 ditetapkan bahwa:

(1) Dalam mendukung kawasan perdagangan bebas dapat diselenggarakan pelabuhan tersendiri. 

(2) Penyelenggaraan pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kawasan perdagangan bebas.

(3) Pelaksanaan fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran pada pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini

Kemudian di tetapkan dengan Keputusan Menteri Perhubungan No. KP. 25 tahun 2009 tentang Penetapan Pelabuhan Bebas pada Kawasan perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. 


Kemudian diperkuat dengan Keputusan Bersama Menteri Perhubungan dan Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam Nomor : KP 994 Tahun 2017 –Nomor :1456/SPJ/KA/11/2017 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam.

Dalam Peraturan Presiden No 87 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Batam, Bintan dan Karimun, Ruang (Wilayah) Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam ( BP Batam ) ruang daratan maupun perairan terlampir  meliputi sebagai berikut :


Dalam Peraturan Pemerintah No 5 Tahun 2011 Lokasi Ruang Darat dan Perairan (Kepelabuhanan ) Lokasi Kerja Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas meliputi wilayah daratan dan perairan sebagai berikut:

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2007 TENTANG KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS BATAM

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 46 TAHUN 2007
TENTANG
KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS BATAM

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
a.         bahwa wilayah Batam serta pulau-pulau kecil di sekitarnya telah memenuhi kriteria untuk ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas;
b.         bahwa untuk lebih memaksimalkan pelaksanaan pengembangan serta menjamin kegiatan usaha di bidang perekonomian yang meliputi perdagangan, maritim, industri, perhubungan, perbankan, pariwisata, dan bidang-bidang lainnya dalam kawasan sebagaimana dimaksud pada huruf a, perlu untuk menetapkan kawasan dimaksud menjadi Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas;
c.         bahwa berdasarkan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang, pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
d.         bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam.

Mengingat:
1.         Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.         Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3613);
3.         Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi dan Kota Batam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 151, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3902);
4.         Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4053);
5.         Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
6.         Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548);
7.         Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
8.         Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS BATAM

BAB I
PEMBENTUKAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS

Pasal 1
(1)        Dengan Peraturan Pemerintah ini, kawasan Batam ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas untuk jangka waktu 70 (tujuh puluh) tahun sejak diberlakukannya Peraturan Pemerintah ini.
(2)        Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Pulau Batam, Pulau Tonton, Pulau Setokok, Pulau Nipah, Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau Galang Baru;
(3)        Batas tetap dan titik koordinat dari wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah sebagaimana dalam peta terlampir yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 2
(1)        Di dalam Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam dilakukan kegiatan-kegiatan di bidang ekonomi, seperti sektor perdagangan, maritim, industri, perhubungan, perbankan, pariwisata dan bidang lainnya.
(2)        Bidang lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah tersendiri.
(3)        Pengembangan kegiatan-kegiatan di bidang ekonomi di dalam Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas pada kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) dilakukan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam.

BAB II
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 3
(1)        Semua aset Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam dialihkan menjadi aset Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, kecuali aset yang telah diserahkan kepada Pemerintah Kota Batam, sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.
(2)        Pegawai pada Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam dialihkan menjadi pegawai pada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam.

Pasal 4
(1)        Hak Pengelolaan atas tanah yang menjadi kewenangan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam dan Hak Pengelolaan atas tanah yang menjadi kewenangan Pemerintah Kota Batam yang berada di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 ayat (2) beralih kepada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2)        Hak-hak yang ada diatas Hak Pengelolaan atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap berlaku sampai masa berlakunya berakhir.
(3)        Untuk perpanjangan/pembaharuan hak setelah hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir, akan diberikan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.

BAB III
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 5
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, segala perjanjian, kesepakatan, atau kerjasama serta izin atau fasilitas yang diberikan oleh Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam dan Pemerintah Kota Batam dinyatakan tetap berlaku sampai masa berlakunya berakhir.

Pasal 6
(1)        Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam ditetapkan paling lambat pada tanggal 31 Desember 2008.
(2)        Sebelum terbentuknya Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, maka tugas dan wewenangnya dilaksanakan secara bersama antara Pemerintah Kota Batam dengan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing.

Pasal 7
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Ditetapkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 20 Agustus 2007
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 20 Agustus 2007
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 107


PENJELASAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 46 TAHUN 2007
TENTANG
KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS BATAM

I.          UMUM
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas sebagaimana telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 menetapkan sejumlah kriteria bagi suatu kawasan untuk dapat diusulkan menjadi Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, diantaranya kriteria yang terkait dengan letak kawasan tersebut.
Letak Batam di sisi jalur perdagangan internasional paling ramai di dunia dan perannya yang demikian penting sebagai salah satu gerbang dan ujung tombak ekonomi Indonesia merupakan pertimbangan utama bagi penetapan Kawasan Batam menjadi Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
Letak geografis Batam yang unik dan khusus menjadikan posisinya begitu sentral, karena dapat dijadikan sebagai pintu gerbang bagi arus masuk investasi, barang, dan jasa dari luar negeri yang berguna bagi peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia. Selain dapat difungsikan sebagai sentral pengembangan industri sarat teknologi yang dapat memberikan manfaat di masa depan dan pengembangan industri-industri dengan nilai tambah yang tinggi, kawasan Batam dapat pula berfungsi sebagai tempat pengumpulan dan penyaluran hasil produksi dari dan ke seluruh wilayah Indonesia serta negara-negara lain. Mengingat letaknya tepat pada jalur kapal laut internasional maka kawasan Batam dapat menjadi pusat pelayanan lalu lintas kapal internasional. Selain itu dengan posisi Batam didukung oleh kondisi Sumatera yang telah jauh berkembang, memudahkan penyediaan tenaga kerja dan sarana pengembangan kemampuan tenaga kerja.
Di samping itu, pada kawasan Batam juga tersedia lahan, infrastruktur dan industri pendukung yang memadai.
Namun, pertimbangan yang sangat penting adalah adanya komitmen Pemerintah Daerah yang bersangkutan untuk melaksanakan pengelolaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Untuk itu, perlu diterbitkan Peraturan Pemerintah tentang penetapan Batam sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dengan batas-batas yang jelas dan mudah dikontrol keamanannya dan tidak mengganggu keberlanjutan lingkungan hidup, sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

II.         PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Cukup jelas.

Pasal 3
Cukup jelas.

Pasal 4
Ayat (1)
Hak Pengelolaan yang menjadi wewenang Pemerintah Kota Batam beralih kepada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam setelah terjadi pelepasan hak pengelolaannya oleh Pemerintah Kota Batam.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 5
Cukup jelas.

Pasal 6
Cukup jelas.

Pasal 7
Cukup jelas.


TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4757



LAMPIRAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 46 TAHUN 2007
TENTANG
KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS BATAM