Senin, 17 Agustus 2015

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan



Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

BAB I
KETENTUAN UMUM 



Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Lalu lintas adalah gerak kendaraan, orang dan hewan di jalan;
2. Angkutan adalah pemindahan orang dan atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan;
3. Jaringan transportasi jalan adalah serangkaian simpul dan atau ruang kegiatan yang dihubungkan oleh ruang lalu lintas sehingga membentuk satu kesatuan sistem jaringan untuk keperluan penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan;
4. Jalan adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umu;
5. Terminal adalah prasarana transportasi jalan untuk keperluan memuat dan menurunkan orang dan atau barang serta mengatur kedatangan dan pemberangkatan kendaraan umum, yang merupakan salah satu wujud simpul jaringan transportasi.
6. Kendaraan adalah suatu alat yang dapat bergerak di jalan, terdiri dari kendaraan bermotor atau kendaraan tidak bermotor;
7. Kendaraan bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik yang berada pada kendaraan itu;
8. Perusahaan angkutan umum adalah perusahaan yang menyediakan jasa angkutan orang dan/atau barang dengan kendaraan umum di jalan;
9. Kendaraan umum adalah setiap kendaraan bermotor yang disediakan untuk dipergunakan oleh umum dengan dipungut bayaran;
10. Pengguna jasa adalah setiap orang dan atau badan hukum yang menggunakan jasa angkutan, baik untuk angkutan orang maupun barang.


BAB II
ASAS DAN TUJUAN



Pasal 2
Transportasi jalan sebagai salah satu moda transportasi nasional diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan merata, keseimbangan, kepentingan umum, keterpaduan, kesadaran umum, dan percaya pada diri sendiri.
Pasal 3
Transportasi jalan diselenggarakan dengan tjuan untuk mewujudkan lalu lintas dan angkutan jalan dengan selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan teratur, nyaman dan efisien, mampu memadukan moda transportasi lainnya, menjangkau seluruh pelosok wilayah daratan, untuk menunjang pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas sebagai pendorong, penggerak dan penunjang pembangunan nasional dengan biaya yang terjangkau oleh daya beli masyarakat.

 BAB III
PEMBINAAN 

Pasal 4
(1) Lalu lintas dan angkutan jalan dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh pemerintah.
(2) Penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan dilaksanakan berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang ini.
Pasal 5
(1) Pembinaan lalu lintas dan angkutan jalan diarahkan untuk meningkatkan penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan dalam keseluruhan moda transportasi secara terpadu dengan memperhatikan seluruh aspek kehidupan masyarakat untuk mewujudkan tujuan seperti tersebut dalam Pasal 3.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 BAB IV
PRASARANA 

Bagian Pertama
Jaringan Transportasi Jalan
Pasal 6
(1) Untuk mewujudkan lalu lintas dan angkutan jalan yang terpadu dengan moda transportasi lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ditetapkan jaringan transportasi jalan yang menghubungkan seluruh wilayah tanah air.
(2) Penetapan jaringan transportasi jalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan pada kebutuhan transportasi, fungsi, peranan, kapasitas lalu lintas, dan kelas jalan.

 BAB IV
PRASARANA

Bagian Kedua
Kelas Jalan dan Penggunaan Jalan
Pasal 7
(1) Untuk pengaturan penggunaan jalan dan pemenuhan kebutuhan angkutan, jalan dibagi dalam beberapa kelas.
(2) Pengaturan kelas jalan sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 8
(1) Untuk keselamatan, keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas serta kemudahan bagi pemakai jalan, jalan wajib dilengkapi dengan :
a. rambu-rambu;
b. marka jalan;
c. alat pemberi isyarat lalu lintas;
d. alat pengendali dan alat pengamanan pemakai jalan;
e. alat pengawasan dan pengamanan jalan;
f. fasilitas pendukung kegiatan lalu lintas dan angkutan jalan yang berada di jalan dan di luar jalan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 BAB IV
PRASARANA 

Bagian Ketiga
Terminal
Pasal 9
(1) Untuk menunjang kelancaran mobilitas orang maupun arus barang dan untuk terlaksananya keterpaduan intra dan antar moda secara lancar dan tertib, di tempat-tempat tertentu dapat dibangun dan diselenggarakan terminal.
(2) Pembangunan terminal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh pemerintah dan dapat mengikutsertakan badan hukum Indonesia.
(3) Penyelenggaraan terminal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh pemerintah.
(4) Ketentuan mengenai pembangunan dan penyelenggaraan terminal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 10
(1) Pada terminal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dapat dilakukan kegiatan usaha penunjang.
(2) Kegiatan usaha penunjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan oleh badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
 BAB IV
PRASARANA


Bagian Keempat
Fasilitas Parkir Untuk Umum
Pasal 11
(1) Untuk menunjang keselamatan, keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan dapat diadakan fasilitas parkir untuk umum.
(2) Fasilitas parkir untuk umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diselenggarakan oleh Pemerintah, badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia.
(3) Ketentuan mengenai fasilitas parkir sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 BAB V
KENDARAAN

Bagian Pertama
Persyaratan Teknis dan Laik Jalan Kendaraan Bermotor
Pasal 12
(1) Setiap kendaraan bermotor yang dioperasikan di jalan harus sesuai dengan peruntukannya, memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan serta sesuai dengan kelas jalan yang dilalui.
(2) Setiap kendaraan bermotor, kereta gandengan, kereta tempelan dan kendaraan khusus yang dibuat dan/atau dirakit di dalam negeri serta diimpor, harus sesuai dengan peruntukan dan kelas jalan yang akan dilaluinya serta wajib memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.


 BAB V
KENDARAAN

Bagian Kedua
Pengujian Kendaraan bermotor
Pasal 13
(1) Setiap kendaraan bermotor, kereta gandengan, kereta tempelan, dan kendaraan khusus yang dioperasikan di jalan wajib diuji.
(2) Pengujian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi uji tipe dan atau uji berkala.
(3) Kendaraan yang dinyatakan lulus uji sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberikan tanda bukti.
(4) Persyaratan, tata cara pengujian, masa berlaku, dan pemberian tanda bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 BAB V
KENDARAAN 


Bagian Ketiga
Pendaftaran Kendaraan Bermotor
Pasal 14
(1) Setiap kendaraan bermotor yang dioperasikan di jalan wajib didaftarkan.
(2) Sebagai tanda bukti pendaftaran diberikan bukti pendaftaran kendaraan bermotor.
(3) Syarat-syarat dan tata cara pendaftaran, bentuk, dan jenis tanda bukti pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 BAB V
KENDARAAN

Bagian Keempat
Bengkel Umum Kendaraan Bermotor
Pasal 15
(1) Agar kendaraan bermotor tetap memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan, dapat diselenggarakan bengkel umum kendaraan bermotor.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara penyelenggaraan bengkel umum kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 BAB V
KENDARAAN 


Bagian Kelima
Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan
Pasal 16
(1) Untuk keselamatan, keamanan, dan ketertiban lalu lintas dan angkutan jalan, dapat dilakukan pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan.
(2) Pemeriksaan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. pemeriksaan persyaratan teknis dan laik jalan;
b. Pemeriksaan tanda bukti lulus uji, surat tanda bukti pendaftaran atau surat tanda coba kendaraan bermotor, dan surat izin mengemudi sebagimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14, Pasal 18, dan lain-lain yang diperlukan.
(3) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB V
KENDARAAN

Bagian Keenam
Persyaratan Kendaraan Bermotor
Pasal 17
(1) Setiap kendaraan tidak bermotor yang dioperasikan di jalan wajib memenuhi persyaratan keselamatan.
(2) Persyaratan keselamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 BAB VI
PENGEMUDI 


Bagian Pertama
Persyaratan Pengemudi
Pasal 18
(1) Setiap pengemudi kendaraan bermotor, wajib memiliki surat izin mengemudi.
(2) Penggolongan, persyaratan, masa berlaku, dan tata cara memperoleh surat izin mengemudi, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
(1) Untuk mendapatkan surat izin mengemudi yang pertama kali pada setiap golongan, calon pengemudi wajib mengikuti ujian mengemudi, setelah memperoleh pendidikan dan latihan mengemudi.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah

 BAB VI
PENGEMUDI 


Bagian Kedua
Pergantian Pengemudi
Pasal 20
(1) Untuk menjamin keselamatan lalu lintas dan angkutan di jalan, perusahaan angkutan umum wajib mematuhi ketentuan mengenai waktu kerja dan waktu istirahat bagi pengemudi.
(2) Ketentuan mengenai waktu kerja dan waktu istirahat bagi pengemudi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
 BAB VII
LALU LINTAS 

Bagian Pertama
Tata Cara Berlalu Lintas
Pasal 21
(1) Tata cara berlalu lintas di jalan adalah dengan mengambil jalur jalan sebelah kiri.
(2) Dalam keadaan tertentu dapat ditetapkan pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Persyaratan dan tata cara untuk melakukan pengecualian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 22
(1) Untuk keselamatan, keamanan, kelancaran, dan ketertiban lalu lintas dan angkutan jalan ditetapkan ketentuan-ketentuan mengenai:
a. rekayasa dan manajemen lalu lintas;
b. gerakan lalu lintas kendaraan bermotor;
c. berhenti dan parkir;
d. penggunaan peralatan dan perlengkapan kendaraan bermotor yang diharuskan, peringatan dengan bunyi dan sinar;
e. tata cara menggiring hewan dan penggunaan kendaraan tidak bermotor di jalan;
f. tata cara penetapan kecepatan maksimum dan atau minimum kendaraan bermotor;
g. perilaku pengemudi terhadap pejalan kaki;
h. penetapan muatan sumbu kurang dari muatan sumbu terberat yang diizinkan;
i. tata cara mengangkut orang dan/atau barang serta penggandengan dan penempelan dengan kendaraan lain;
j. penetapan larangan penggunaan jalan;
k. penunjukan lokasi, pembuatan dan pemeliharaan tempat pemberhentian untuk kendaraan umum.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 23
(1) Pengemudi kendaraan bermotor pada waktu mengemudikan kendaraan bermotor di jalan, wajib:
a. mampu mengemudikan kendaraannya dengan wajar;
b. mengutamakan keselamatan pejalan kaki;
c. menunjukkan surat tanda bukti pendaftaran kendaraan bermotor, atau surat tanda coba kendaraan bermotor, surat izin mengemudi, dan tanda bukti lulus uji, atau tanda bukti lain yang sah, dalam hal dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16;
d. mematuhi ketentuan tentang kelas jalan, rambu-rambu dan marka jalan, alat pemberi isyarat lalu lintas, waktu kerja dan waktu istirahat pengemudi, gerakan lalu lintas, berhenti dan parkir, persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor, peringatan dengan bunyi dan sinar, kecepatan maksimum dan atau minuman, tata cara penggandengan dan penempelan dengan kendaraan lain;
e. memakai sabuk keselamatan bagi pengemudi kendaraan bermotor roda empat atau lebih, dan mempergunakan helm bagi pengemudi kendaraan bermotor roda dua atau bagi pengemudi kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang tidak dilengkapi dengan rumah-rumah.
(2) Penumpang kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang duduk di samping pengemudi wajib memakai sabuk keselamatan, dan bagi penumpang kendaraan bermotor roda dua atau kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang tidak dilengkapi dengan rumah-rumah wajib memakai helm.
Pasal 24
(1) Untuk keselamatan, keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dan angkutan di jalan, setiap orang yang menggunakan jalan, wajib:
a. berperilaku tertib dengan mencegah hal-hal yang dapat merintangi, membahayakan kebebasan atau keselamatan lalu lintas, atau yang dapat menimbulkan kerusakan jalan dan bangunan di jalan;
b. menempatkan kendaraan atau benda-benda lainnya di jalan sesuai dengan peruntukannya.
(2) Pengemudi dan pemilik kendaraan bertanggung jawab terhadap kendaraan berikut muatannya yang ditinggalkan di jalan.


Bagian Kedua
Penggunaan Jalan Selain Untuk Kegiatan Lalu Lintas
Pasal 25
(1) Penggunaan jalan untuk keperluan tertentu di luar fungsi sebagai jalan, dan penyelenggaraan kegiatan dengan menggunakan jalan yang patut diduga dapat menggangu keselamatan, keamanan, dan kelancaran lalu lintas hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin.
(2) Persyaratan dan tata cara untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.


Bagian Ketiga
Pejalan Kaki
Pasal 26
(1) Pejalan kaki wajib berjalan pada bagian jalan dan menyeberang pada tempat penyeberangan yang telah disediakan bagi pejalan kaki.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat
Kecelakaan Lalu Lintas
Pasal 27
(1) Pengemudi kendaraan bermotor yang terlibat peristiwa kecelakaan lalu lintas, wajib:
a. menghentikan kendaraan;
b. menolong orang yang menjadi korban kecelakaan;
c. melaporkan kecelakaan tersebut kepada pejabat polisi negara Republik Indonesia terdekat.
(2) Apabila pengemudi kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) oleh karena keadaan memaksa tidak dapat melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b, kepadanya tetap diwajibkan segera melaporkan diri kepada pejabat polisi negara Republik Indonesia terdekat.
Pasal 28
Pengemudi kendaraan bermotor bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang dan atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga, yang timbul karena kelalaian atau kesalahan pengemudi dalam mengemudikan kendaraan bermotor.
Pasal 29
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 tidak berlaku dalam hal:
a. adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar kemampuan;
b. disebabkan perilaku korban sendiri atau pihak ketiga;
c. disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan.
Pasal 30
(1) Setiap pengemudi, pemilik, dan atau pengusaha angkutan umum bertanggung jawab terhadap kerusakan jalan dan jembatan atau fasilitas lalu lintas yang merupakan begian dari jalan itu yang mengakibatkan oleh kendaraan bermotor yang dioperasikannya.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku dalam hal adanya keadaan memaksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf a.
Pasal 31
(1) Apabila korban meninggal, pengemudi dan/atau pemilik dan atau pengusaha angkutan umum wajib memberi bantuan kepada ahli waris dari korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman.
(2) Apabila terjadi cedera terhadap badan atau kesehatan korban, bantuan yang diberikan kepada korban berupa biaya pengobatan.

Bagian Kelima
Asuransi
Pasal 32
(1) Setiap kendaraan umum wajib diasuransikan terhadap kendaraan itu sendiri maupun terhadap kerugian yang diderita pihak ketiga sebagai akibat pengoperasian kendaraan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 33
(1) Pengusaha angkutan umum wajib mengasuransikan orang yang dipekerjakannya sebagai awak kendaraan terhadap risiko terjadinya kecelakaan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 BAB VIII
ANGKUTAN


Bagian Pertama
Angkutan Orang dan Barang
Pasal 34
(1) Pengangkutan orang dengan kendaraan bermotor wajib menggunakan kendaraan bermotor untuk penumpang.
(2) Pengangkutan barang dengan kendaraan bermotor wajib menggunakan kendaraan bermotor untuk barang.
(3) Dalam keadaan tertentu dapat diberikan pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) yang persyaratannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 35
Kegiatan pengangkutan orang dan atau barang dengan memungut pembayaran hanya dilakukan dengan kendaraan umum.

Bagian Kedua
Angkutan Orang dengan Kendaraan Umum
Pasal 36
Pelayanan angkutan orang dengan kendaraan umum terdiri dari:
a. angkutan antar kota yang merupakan pemindahan orang dari suatu kota ke kota lain;
b. angkutan kota yang merupakan pemindahan orang dalam wilayah kota;
c. angkutan pedesaan yang merupakan pemindahan orang dalam dan/atau antarwilayah pedesaan.
d. angkutan lintas batas negara yang merupakan angkutan orang yang melalui lintas batas negara lain.
Pasal 37
(1) Pelayanan angkutan orang dengan kendaraan umum sebagaimana dimakud dalam Pasal 36, dapat dilaksanakan dengan trayek tetap dan teratur atau tidak dalam trayek.
(2) Pelayanan angkutan orang dengan kendaraan umum dalam trayek tetap dan teratur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan dalam jaringan trayek.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 38
(1) Pengangkutan orang dengan kendaraan umum untuk keperluan pariwisata, dilakukan dengan memperhatikan ketentuan Undang-undang ini.
(2) Persyaratan dan tata cara memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga
Pejalan Kaki
Pasal 39
(1) Pejalan kaki wajib berjalan pada bagian jalan dan menyeberang pada tempat penyeberangan yang telah disediakan bagi pejalan kaki.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat
Pengusahaan
Pasal 41
(1) Usaha angkutan orang dan/atau barang dengan kendaraan umum, dapat dilakukan oleh badan hukum Indonesia atau Warga Negara Indonesia.
(2) Usaha angkutan orang dan atau barang dengan kendaraan umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan berdasarkan izin.
(3) Jenis, persyaratan, dan tata cara untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima
Tarif
Pasal 42
Struktur dan golongan tarif angkutan dengan kendaraan umum, ditetapkan oleh Pemerintah.


Bagian Keenam
Tanggung Jawab Pengangkut
Pasal 43
(1) Pengusaha angkutan umum wajib mengangkut orang dan/atau barang, setelah disepakatinya perjanjian pengangkutan dan/atau dilakukan pembayaran biaya angkutan oleh penumpang dan atau pengirim barang.
(2) Karcis penumpang atau surat angkutan barang merupakan tanda bukti telah terjadinya perjanjian angkutan dan pembayaran biaya angkutan.
Pasal 44
Pengusaha angkutan umum wajib mengembalikan biaya angkutan yang telah dibayar oleh penumpang dan/atau pengirim barang, jika terjadi pembatalan pemberangkatan kendaraan umum.
Pasal 45
(1) Pengusaha angkutan umum bartanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang , pengirim barang atau pihak ketiga, karena kelalaiannya dalam melaksanakan pelayanan angkutan.
(2) Besarnya ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), adalah sebesar kerugian yang secara nyata diderita oleh penumpang, pengirim barang atau pihak ketiga.
(3) Tanggung jawab pengusaha angkutan umum terhadap penumpang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dimulai sejak diangkutnya penumpang sampai di tempat tujuan pengangkutan yang telah disepakati.
(4) Tanggung jawab pengusaha angkutan umum terhadap pemilik barang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dimulai sejak diterimanya barang yang akan diangkut sampai diserahkannya barang kepada pengirim dan/atau penerima barang.
Pasal 46
(1) Pengusaha angkutan umum wajib mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dalam Pasal 45 ayat (1).
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 47
Pengemudi angkutan umum dapat menurunkan penumpang dan/atau barang yang diangkut pada tempat pemberhentian terdekat, apabila ternyata penumpang dan/atau barang yang diangkut dapat membahayakan keamanan dan keselamatan angkutan.
Pasal 48
(1) Pengusaha angkutan umum dapat mengenakan tambahan biaya penyimpanan barang kepada pengirim dan/atau penerima barang , yang tidak mengambil barangnya, di tempat tujuan dan waktu yang telah disepakati.
(2) Pengirim dan/atau penerima barang hanya dapat mengambil barang setelah biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilunasi.
(3) Barang yang tidak diambil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih dari waktu tertentu, dinyatakan sebagai barang tak bertuan dan dapat dijual secara lelang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 BAB IX
LALU LINTAS DAN ANGKUTAN BAGI PENDERITA CACAT 


Pasal 49
(1) Penderita cacat berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan khusus dalam bidang lalu lintas dan angkutan jalan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 BAB X
DAMPAK LINGKUNGAN 

Pasal 50
(1) Untuk mencegah pencemaran udara dan kebiasaan suara kendaraan bermotor yang dapat mengganggu kelestarian lingkungan hidup, setiap kendaraan bermotor wajib memenuhi persyaratan ambang batas emisi gas buang dan tingkat kebisingan.
(2) Setiap pemilik, pengusaha angkutan umum dan atau pengemudi kendaraan bermotor, wajib mencegah terjadinya pencemaran udara dan kebisingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang diakibatkan oleh pengoperasian kendaraannya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 BAB XI
PENYERAHAN URUSAN 

Pasal 51
(1) Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan pemerintahan dalam bidang lalu lintas dan angkutan jalan kepada Pemerintah Daerah.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 BAB XII
PENYIDIKAN

 
Pasal 52
Pemeriksaan terhadap kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, atau penyidikan terhadap pelanggaran di bidang lalu lintas dan angkutan jalan, tidak disertai dengan penyitaan kendaraan bermotor dan atau surat tanda nomor kendaraan bermotor, kecuali dalam hal:
a. kendaraan bermotor diduga berasal dari hasil tindak pidana atau digunakan untuk melakukan tindak pidana;
b. pelanggaran lalu lintas tersebut mengakibatkan meninggalnya orang;
c. pengemudi tidak dapat menunjukkan tanda bukti lulus uji kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3);
d. pengemudi tidak dapat menunjukkan surat tanda nomor kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2);
e. pengemudi tidak dapat menunjukkan surat izin mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1).
Pasal 53
(1) Selain pejabat polisi negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan di bidang lalu lintas dan angkutan jalan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahin 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang lalu lintas dan angkutan jalan;
(2) Penyidik sebagaimana dimakud dalam ayat (1), berwenang untuk:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran keterangan berkenaan dengan pemenuhan persyaratan teknis dan alik jalan kendaraan bermotor;
b. melarang atau menunda pengoperasian kendaraan bermotor yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan;
c. meminta keterangan dan barang bukti dari pengemudi, pemilik kendaraan, atau pengusaha angkutan umum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut persyaratan teknis dan alik jalan kendaraan bermotor;
d. melakukan penyitaan tanda uji kendaraan yang tidak sah;
e. melakukan pemeriksaan terhadap perizinan angkutan umum di terminal;
f. melakukan pemeriksaan terhadap berat kendaraan beserta muatannya;
g. memuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan;
h. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana yang menyangkut persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor serta perizinan angkutan umum.
(3) Pelaksanaan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 BAB XIII
KETENTUAN PIDANA 
Pasal 54
Barangsiapa mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang tidak sesuai dengan peruntukkannya, atau tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan, atau tidak sesuai dengan kelas jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Pasal 55
Barangsiapa memasukkan ke dalam wilayah Indonesia, atau membuat atau merakit kendaraan bermotor, kereta gandengan, kereta tempelan, dan kendaraan khusus yang akan dioperasikan di dalam negeri yang tidak sesuai dengan peruntukkan, atau tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan, atau tidak sesuai dengan kelas jalan yang akan dilaluinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Pasal 56
(1) Barangsiapa mengemudikan kendaraan bermotor, kereta gandengan, kereta tempelan dan kendaraan khusus di jalan tanpa dilengkapi dengan tanda bukti lulus uji sebagaimana dimaksud Pasal 13 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda setingi-tingginya Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah).
(2) Apabila kendaraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata tidak memiliki tanda bukti lulus uji, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah).
Pasal 57
(1) Barangsiapa mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang tidak didaftarkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah).
Pasal 58
Barangsiapa mengemudikan kendaraan tidak bermotor di jalan yang tidak memenuhi persyaratan keselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 7 (tujuh) hari atau denda setinggi-tingginya Rp. 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Pasal 59
(1) Barangsiapa mengemudikan kendaraan bermotor dan tidak dapat menunjukkan surat izin mengemudi sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah).
(2) Apabila pengemudi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata tidak memiliki surat izin mengemudi, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah).
Pasal 60
(1) Barangsiapa mengemudikan kendaraan bermotor di jalan dalam keadaan tidak mampu mengemudikan kendaraan dengan wajar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
(2) Barangsiapa mengemudikan kendaraan bermotor di jalan dan tidak mengutamakan keselamatan pejalan kaki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf b dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Pasal 61
(1) Barangsiapa melanggar ketentuan mengenai rambu-rambu dan marka jalan, alat pemberi isyarat lalu lintas, gerakan lalu lintas, berhenti dan parkir, peringatan dengan bunyi dan sinar, kecepatan maksimum atau minimum dan tata cara penggandengan dan penempelan dengan kendaraan lain sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 23 ayat (1) huruf d, dipidana dengan pidana kurunganpaling lama 1 (satu) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(2) Barangsiapa tidak menggunakan sabuk keselamatan pada waktu mengemudikan kendaraan bermotor roda empat atau lebih, atau tidak mengggunakan helm pada waktu mengemudikan kendaraan bermotor roda dua atau pada waktu mengemudikan kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang tidak dilengkapi dengan rumah-rumah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf e, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(3) Barangsiapa tidak memakai sabuk keselamatan pada waktu duduk di samping pengemudi kendaraan bermotor roda empat atau lebih, atau tidak memakai helm pada waktu menumpang kendaraan bermotor roda dua atau menumpang kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang tidak dilengkapi dengan rumah-rumah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Pasal 62
Barangsiapa menggunakan jalan di luar fungsi sebagai jalan, atau menyelenggarakan kegiatan dengan menggunakan jalan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Pasal 63
Barangsiapa terlibat peristiwa kecelakaan lalu lintas pada waktu mengemudikan kendaraan bermotor di jalan dan tidak menghentikan kendaraannya, tidak menolong orang yang menjadi korban kecelakaan, dan tidak melaporkan kecelakaan tersebut kepada pejabat polisi negara Republik Indonesia terdekat, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah).
Pasal 64
Barangsiapa tidak mengasuransikan kendaraan bermotor yang digunakan sebagaimana kendaraan umum, baik terhadap kendaraan itu sendiri maupun terhadap kemungkinan kerugian yang akan diderita oleh pihak ketiga sebagai akibat pengoperasian kendaraannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Pasal 65
Barangsiapa tidak mengasuransikan orang yang dipekerjakannya sebagai awak kendaraan terhadap resiko terjadinya kecelakaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Pasal 66
Barangsiapa melakukan usaha angkutan wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, atau melakukan usaha angkutan orang dan atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) tanpa izin dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Pasal 67
Barangsiapa mengemudikan kendaraan bermotor yang tidak memenuhi persyaratan ambang batas emisi gas buang, atau tingkat kebisingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah).
Pasal 68
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, pasal 62, Pasal 63, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66, dan Pasal 67 adalah pelanggaran.
Pasal 69
Jika seseorang melakukan lagi pelanggaran yang sama dengan pelanggaran yang sama dengan pelanggaran pertama sebelum lewat jangka waktu satu tahun sejak tanggal putusan pengadilan atas pelanggaran pertama yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka pidana yang dijatuhkan terhadap pelanggaran yang kedua ditambah dengan sepertiga dari pidana kurungan pokoknya atau bila dikanakan denda dapat ditambah dengan setengah dari pidana denda yang diancamkan untuk pelanggaran yang bersangkutan.
Pasal 70
(1) Surat izin mengemudi dapat dicabut untuk paling lama 1 (satu) tahun, apabila dilakukan :
a. pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a, dan huruf b, Pasal 24 ayat (1) huruf a, Pasal 27 ayat (1);
b. tindak pidana kejahatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 359, Pasal 360, Pasal 406, Pasal 408, Pasal 409, Pasal 410, dan Pasal 492 kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, dengan menggunakan kendaraan bermotor.
(2) Surat izin mengemudi dapat dicabut untuk paling lama 2 (dua) tahun dalam hal seseorang melakukan lagi pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal putusan Pengadilan atas pelanggaran terdahulu yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

 BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN 

Pasal 72
Pada tanggal mulai berlakunya Undang-undang ini, semua peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1965 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya (Lembaran Negara Nomor 25 Tahun 1965, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2742) dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Undang-undang ini.
 BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP 

Pasal 73
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka Undang-undang Nomor 3 Tahun 1965 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya (Lembaran Negara Nomor 25 Tahun 1965, Tambahan Lembaran Negara nomor 2742) dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 74
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 17 September 1992.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.




Disahkan di Jakarta
pada tanggal 12 Mei 1992
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Mei 1992
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MOERDIONO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1992 NOMOR 49

Sejarah Pembangunan Batam

Batam adalah salah satu pulau dalam gugusan Kepri. Batam merupakan sebuah pulau di antara 329 pulau yang terletak antara Selat Malaka dan Singapura yang secara keseluruhan membentuk wilayah Batam. Karena langkanya catatan tertulis dari pulau ini, maka hanya ada satu literatur yang menyebut nama Batam, yaitu Traktat London yang mengatur pembagian wilayah kekuasaan antara Belanda dan Inggris. Namun, menurut para pesiar dari China, pulau ini sudah dihuni sejak 231 M ketika Singapura masih disebut Pulau Ujung.

Sebelum  mendapat perhatian khusus dari pemerintah pusat, Batam merupakan sebuah pulau kosong berupa hutan belantara yang nyaris tanpa denyut kehidupan. Namun, terdapat beberapa kelompok penduduk yang lebih dahulu mendiami pulau ini. Mereka berprofesi sebagai penangkap ikan dan bercocok tanam. Mereka sama sekali tidak banyak terlibat dalam mengubah bentuk fisik pulau ini yang merupakan hamparan hutan belantara.

Pada tahun 1970-an Batam mulai dikembangkan sebagai basis logistik dan operasional untuk industri minyak dan gas bumi oleh Pertamina. Kemudian berdasarkan Kepres No. 41 tahun 1973, pembangunan Batam dipercayakan kepada lembaga pemerintah yang bernama Otorita Pengembangan Industri Pulau Batam atau sekarang dikenal dengan Badan Pengusahaan Batam (BP Batam). Dalam rangka melaksanakan visi dan misi untuk mengembangkan Batam, maka dibangun berbagai insfrastruktur modern yang berstandar internasional serta berbagai fasilitas lainnya, sehingga diharapkan mampu bersaing dengan kawasan serupa di Asia Pasifik.

Perkembangan Kota Batam sejak awal pembangunannya pada tahun 1968 hingga saat ini, secara garis besar dapat dibagi menjadi 6 periode. Pada masing-masing periode tersebut telah ditetapkan arah kebijakan pembangunannya. Ringkasan dari tiap periode sebagaimana rincian di bawah ini.
  1. Pada Tahun1968 PN. Pertamina menjadikan Pulau Batam sebagai pangkalan logistik dan operasional yang berhubungan dengan eksplorasi dan eksploitasi minyak lepas pantai. Pemilihan lokasi tersebut sangat beralasan, mengingat lokasi ini sangat berdekatan dengan Singapura (kurang lebih 20 Km).
  2. Periode Pembangunan Kota Batam secara nyata dimulai sejak tahun1970-an sebagai tahap persiapan yang dipimpin oleh DR. Ibnu Sutowo sesuai dengan Keppres 65/1970 yang diterbitkan pada tanggal 19 oktober 1970.
  3. Akibat terjadinya krisis di Pertamina maka pada tahun 1976berdasarkan Keppres 60/M/76 kepemimpinan Pulau Batam dialihkan kepada Menteri Penertiban Aparatur Pembangunan yang pada waktu itu dijabat oleh JB. Sumarlin. Pada jaman kepemimpinan JB Sumarlin ini dikenal dengan periode Konsolidasi. Pembangunan di Batam pada saat itu sama sekali tidak mengalami perkembangan, karena minyak bumi yang pada Tahun 1970 merupakan primadona pasar dunia dan andalan Indonesia, pada Tahun1976 tersebut tidak lagi bisa diandalkan.
  4. Pada Tahun1978, tiga bulan sebelum menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi, Presiden Soeharto menugaskan BJ Habibie memimpin perencanaan dan pengelolaan Batam. Periode KepemimpinanHabibie ini berlangsung sejak 1978 sampai dengan 1998. Periode ini dikenal dengan Periode Pembangunan Prasarana dan Penanaman Modal.
  5. Terhitung sejak Juli 1998 sampai dengan April 2005, kepemimpinan Batam dipegang oleh Ismeth Abdullah. Periode ini merupakan Pengembangan Pembangunan Prasarana dan Penanaman Modal Lanjutan Dengan Perhatian Lebih Besar Pada Kesejahteraan Rakyat dan Perbaikan Iklim Investasi.
  6. Terhitung sejak April 2005 Pulau Batam berada di bawah kepemimpinan Mustofa Widjaya dengan mengarahkanPengembangan Batam, dengan Penekanan pada Peningkatan Sarana & Prasarana, Penanaman Modal serta Kualitas Lingkungan Hidup.
PERIODE PEMBANGUNAN KOTA BATAM (1968 - SEKARANG) 
TAHUN
PERIODE
1968Batam sebagai pangkalan logistik PN.Pertamina
1970-1976Periode Persiapan
Pemimpin : Ibnu Sutowo
1976-1978Periode Konsolidasi
Pemimpin : JB. Sumarlin
1978-1998Periode Pembangunan Prasarana & Penanaman Modal
Pemimpin : BJ. Habibie
1998- 2005Periode Pengembangan Pembangunan Prasarana & Penanaman Modal
Pemimpin : Ismeth Abdullah
2005 � sekarang
Periode Peningkatan sarana & Prasarana, Penanaman Modal serta Kualitas Lingkungan hidup
Pemimpin : Mustofa Widjaya
 



Beberapa tahun belakangan ini telah digulirkan penerapan Free Trade Zone Batam (FTZ Batam), Bintan, dan Karimun yang mengacu pada UU No 36 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dan kemudian dirubah beberapa kali melalui PERPU, sehingga di undangkan menjadi UU no 44 tahun 2007. Ada juga Undang-Undang 36 tahun 2000 Tentang " Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 Tahun 2000 Tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang Undang serta masih banyak Undang-Undang lainnya yang berkaitan dengan FTZ Batam. Kemudian di saat masa akhir jabatan anggota DPR Pusat tahun 2009, bersama dengan pemerintah pusat saat ini sedang membahas mengenai UU Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang akan memayungi pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus di daerah Batam dan daerah lainnya di Indonesia.

Berbagai kemajuan telah banyak dicapai selama ini, seperti tersediannya berbagai lapangan usaha yang mampu menampung angkatan kerja yang berasal hampir dari seluruh daerah di tanah air. Begitu juga dengan jumlah penerimaan daerah maupun pusat dari waktu ke waktu terus meningkat. Hal ini tidak lain karena semakin maraknya kegiatan industri, perdagangan, alih kapal, dan pariwisata. Namun, sebagai daerah yang berkembang pesat, Batam juga tidak luput dari masalah. Untuk itulah, dilakukan penyempurnaan pengembangan Pulau Batam agar dapat melengkapi kekurangan yang ada.

Kamis, 06 Agustus 2015

Keselamatan dan Kesehatan Kerja ( K 3 ) Daerah Lingkungan Kerja Pelabuhan ( DLKr )



1.       Pengertian-Pengertian :
a.       Keselamatan dan Kesehatan Kerja ( K 3 ) Daerah Lingkungan Kerja Pelabuhan ( DLKr ) adalah Keselamatan dan Kesehatan  kerja sebagai suatu program didasari pendekatan ilmiah dalam upaya mencegah atau memperkecil terjadinya bahaya ( hazard ) dan resiko ( risk ) terjadinya penyakit dan kecelakaan , maupun kerugian-kerugian lainnya yang mungkin terjadi di Daerah lingkungan kerja Pelabuhan ( DLKr ).
b.      Keselamatan kerja adalah Ilmu dan penerapannya yang berkaitan dengan mesin, pesawat, alat kerja ,bahan dan proses pengolahannya, landasan tempat kerja dan lingkungan kerja serta cara melakukan pekerjaan guna menjamin keselamatan tenaga kerja dan asset perusahaan agar terhindar dari kecelakaan dan kerugian lainnya. Keselamatan kerja juga meliputi penyedia alat Pelindung Diri ( APD ) Perawatan mesin dan pengaturan jam kerja yang manusiawi.
               Unsur-unsur penunjang keselamatan kerja adalah sebagai berikut :
1.       Adanya unsur-unsur keamanan dan kesehatan kerja
2.       Adanya kesadaran dalam menjaga keamanan dan kesehatan kerja.
3.       Teliti dalam bekerja
4.       Melaksanakan prosedur kerja dengan memperhatikan keamanan dan kesehatan kerja.

c.       Kesehatan Kerja adalah Suatu kondisi Kesehatan yang bertujuan agar masyarakat pekerja memperoleh derajat kesehatan setinggi-tingginya, baik jasmani, rohani, maupun social, dengan usaha pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit atau gangguan kesehatan yang disebabkan oleh pekerjaan dan lingkungan kerja maupun penyakit umum.
d.      Daerah Lingkungan Kerja Pelabuhan ( DLKr ) menurut  PP No. 1 Th. 1969 memuat definisi sebagai berikut: Lingkungan kerja terdiri atas luas perairan termasuk batas-batas perairan pelabuhan dan luas daratan untuk keperluan terminal [yang] meliputi segala fasilitas teknisnya yang memungkinkan pelaksanaan penyelenggaraan angkutan laut maupun usaha-usaha terminal.
e.      Keselamatan dan Kesehatan Kerja ( K 3 ) adalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja sebagai kondisi dan factor yang mempengaruhi atau akan mempengaruhi keselamatan dan kesehatan pekerja termasuk pekerja kontrak dan kontraktor, tamu atau orang lain ditempat kerja.
f.        Kecelakaan Kerja adalah suatu kejadian yang tidak dikehendaki dan tidak diduga yang dapat menimbulkan korban manusia dan atau harta benda pada saat melakukan aktifitas ditempat kerja.