Rabu, 21 Juni 2017

Pelabuhan Laut Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam

Pelabuhan Laut Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam atau biasa disebut Pelabuhan Laut Badan Pengusahaan Batam

Dasar :

  • Undang Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran

Pasal 88 

(1) Dalam mendukung kawasan perdagangan bebas dapat diselenggarakan pelabuhan tersendiri. 
(2) Penyelenggaraan pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kawasan perdagangan bebas. 
(3) Pelaksanaan fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran pada pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan UndangUndang ini.

  1. Undang-Undang R.I No. 44 Tahun 2007 tentang Penetapan PERPU No.1 Tahun 2007tentang Perubahan atas UU No. 36 Tahun 2000 tentang Penetapan PERPU No.1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang -Undang
  2. Undang-Undang R.I No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
  3. Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam
  4. Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2009 Tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 No. 151, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 5070)
  5. Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian
  6. Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam
  7. Peraturan Pemerintah No. . 6 tahun 2011 tentang Pengelolaan Keuangan pada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam
  8. Keputusan Bersama Menteri Perdagangan, Menteri Keuangan dan Menteri Perhubungan No. 149/Kpb/V.77, No. 150/KMK/77 dan No. KM.119/Phb-77 tentang Pembangunan dan Pengelolaan Pelabuhan di Pulau Batam
  9. Keputusan Menteri Perhubungan No. KM.54 Tahun 2002 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan
  10. Keputusan Menteri Perhubungan No. KM.55 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Pelabuhan Khusus
  11. Keputusan Menteri Perhubungan No. KP. 25 Tahun 2009 tentang Penetapan Pelabuhan Bebas pada Kawasan perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam
  12. Peraturan Menteri Perhubungan No. KM.77 Tahun 2009 tentang Rencana Induk Pelabuhan Laut
  13. Keputusan Menteri Perhubungan No. KM.65 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Pelabuhan Laut
  14. Keputusan Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam No. 044/KPTS/KA/IV/2005 tahun 2005 tentang Perubahan Dan Tambahan Surat Keputusan Ketua Otorita Batam No. 19/KPTS/KA/IV/2004 tentang Tarif Jasa Kepelabuhanan Di Lingkungan Pelabuhan Batam – Rempang – Galang (Barelang)
  15. Keputusan Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam No. 73/KPTS/KA/X/2006 tahun 2006 tentang Perubahan Dan Tambahan Surat Keputusan Ketua Otorita Batam No. 20/KPTS/KA/IV/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Operasional Kepelabuhanan Di Lingkungan Pelabuhan Batam – Rempang – Galang (Barelang)
  16. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 148/PMK.05/2016 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam.
  17. Peraturan Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Jenis dan Tarif Layanan pada Kantor Pelabuhan Laut Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam
  18. Peraturan Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pelaksanaan Sistem Host To Host Pembayaran Jasa Kepelabuhanan dilingkungan Pelabuhan Batam.
  19. Peraturan Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam Nomor 12 Tahun 2014 Tentang Tata Cara Pemanfaatan Asset
  20. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 57 Tahun 2015 Tentang Pemanduan dan Penundaan Kapal.
  21. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 4 /PMK.06/2013 tentang tata cara pengelolaan aset pada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam.

Undang Undang No. 1 Tahun 1973 Tentang : Landas Kontinen Indonesia


 Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Nomor : 1 TAHUN 1973 (1/1973)
Tanggal : 6 JANUARI 1973 (JAKARTA)
Sumber : LN 1973/1; TLN NO. 2994 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Presiden Republik Indonesia,
Menimbang :
a. bahwa Negara Republik Indonesia mempunyai kedaulatan atas kekayaan alam di landas kontinen Indonesia, sebagaimana telah ditegaskan dalam Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tanggal 17 Pebruari 1969;
b. bahwa berhubung dengan itu dipandang perlu menetapkan suatu Undang-undang yang mengatur penyelenggaraan usaha pemanfaatan kekayaan alam termaksud untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan negara.
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20 dan Pasal 33 ayat (3) UndangUndang Dasar 1945;
2. Undang-undang Tarip Indonesia Stbl. 1873 No. 135 sebagaimana telah dirubah dan ditambah;
3. Ordonansi Bea Stbl. 1882 No. 240 sebagaimana telah dirubah dan ditambah;
4. Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 22; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1942);
5. Undang-undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 133; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2070);
6. Undang-undang Nomor 19 Tahun 1961 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 276; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2318);
7. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2831); Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
a. Landas Kontinen Indonesia adalah dasar laut dan tanah dibawahnya diluar perairan wilayah Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 sampai kedalaman 200 meter atau lebih, dimana masih mungkin diselenggarakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam.
b. Kekayaan alam adalah mineral dan sumber yang tak bernyawa lainnya didasar laut dan/atau di dalam lapisan tanah dibawahnya bersamasama dengan organisme hidup yang termasuk dalam jenis sedinter yaitu organisme yang pada masa perkembangannya tidak bergerak baik diatas maupun dibawah dasar laut atau tak dapat bergerak kecuali dengan cara selalu menempel pada dasar laut atau lapisan tanah dibawahnya.
c. Eksplorasi dan eksploitasi adalah usaha-usaha pemanfaatan kekayaan alam dilandas kontinen sesuai dengan istilah yang digunakan dalam peraturan perundangan yang berlaku dibidang masing-masing.
d. Penyelidikan ilmiah adalah penelitian ilmiah atas kekayaan alam dilandas kontinen.

BAB II STATUS KEKAYAAN ALAM DILANDAS KONTINEN INDONESIA
Pasal 2
Penguasaan penuh dan hak eksklusif atas kekayaan alam di Landas Kontinen Indonesia serta pemilikannya ada pada Negara.
Pasal 3
Dalam hal landas kontinen Indonesia, termasuk depresi-depresi yang terdapat di landas Kontinen Indonesia, berbatasan dengan negara lain, penetapan garis batas landas kontinen dengan negara lain dapat dilakukan dengan cara mengadakan perundingan untuk mencapai suatu persetujuan. BAB III EKSPLORASI, EKSPLOITASI DAN PENYELIDIKAN ILMIAH
Pasal 4
Eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber kekayaan alam dilandas kontinen Indonesia dilakukan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dibidang masing-masing.
Pasal 5
Penyelenggaraan penyelidikan ilmiah atas kekayaan alam di Landas Kontinen diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB IV INSTALASI
Pasal 6
(1). Untuk melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Undang-undang ini,dapat dibangun, dipelihara dan dipergunakan instalasi-instalasi, kapal-kapal dan/atau alat-alat lainnya di Landas Kontinen dan/atau diatasnya.
(2). Untuk melindungi instalasi-instalasi, kapal-kapal dan/atau alat-alat lainnya tersebut pada ayat(1) pasal ini terhadap gangguan pihak ketiga, Pemerintah dapat menetapkan suatu daerah terlarang yang lebarnya tidak melebihi 500 meter, dihitung dari setiap titik terluar pada instalasi-instalasi, kapal-kapal dan/atau alat-alat lainnya disekeliling instalasi-instalasi, kapal-kapal dan/atau alat-alat lainnya yang terdapat di Landas Kontinen dan/atau diatasnya.
(3). Disamping daerah terlarang tersebut pada ayat (2) pasal ini Pemerintah dapat juga menetapkan suatu daerah terbatas selebar tidak melebihi 1.250 meter terhitung dari titik-titik terluar dari daerah terlarang itu, dimana kapal-kapal pihak ketiga dilarang membuang atau membongkar sauh.
Pasal 7 Syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan tentang pembangunan, perlindungan dan penggunaan instalasi dan/atau alat-alat termaksud dalam Pasal 6 Undang-undang ini akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V PENCEMARAN
 Pasal 8
(1). Barang siapa melakukan eksplorasl eksploitasi dan penyelidikan ilmiah sumber-sumber kekayaan lain di landas kontinen Indonesia, diwajibkan mengambil langkah-langkah untuk:
 a. Mencegah terjadinya pencemaran air laut di landas kontinen Indonesia dan udara diatasnya;
b. Mencegah meluasnya pencemaran dalam hal terjadi pencemaran.
(2). Ketentuan-ketentuan lebih lanjut yang berhubungan dengan pencemaran air laut di landas kontinen Indonesia dan udara diatasnya dan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk pencegahan dan penanggulangannya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI YURISDIKSI NEGARA
Pasal 9
(1). Terhadap setiap perbuatan dan peristiwa yang terjadi pada, diatas atau dibawah instalasi-instalasi, alat-alat lainnya atau kapal-kapal yang berada di landas kontinen dan/atau diatasnya, untuk keperluan eksplorasi dan/atau eksploitasi kekayaan alam di landas kontinen atau daerah terlarang dan daerah terbatas dari instalasi-instalasi dan/atau alat-alat lainnya atau kapal-kapal yang bersangkutan, berlaku hukum dan segala peraturan perundang-undangan Indonesia.
(2). Instalasi-instalasi dan alat-alat di landas kontinen Indonesia yang dipergunakan untuk eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber kekayaan alam dinyatakan sebagai daerah Pabean Indonesia. BAB VII PERLINDUNGAN TERHADAP KEPENTINGAN-KEPENTINGAN LAIN
Pasal 10
(1). Dalam melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam di landas kontinen harus diindahkan dan dilindungi kepentingankepentingan:
a. Pertahanan dan keamanan nasional;
b. Perhubungan;
c. Telekomunikasi dan transmisi listrik dibawah laut;
d. Perikanan;
e. Penyelidikan oceanografi dan penyelidikan ilmiah lainnya;
f. Cagar alam.
(2). Dalam hal-hal terdapat perselisihan-perselisihan antara kepentingan kepentingan tersebut dalam ayat (1) pasal ini mengenai pemanfaatan sumber-sumber kekayaan alam di landas kontinen Indonesia,akan diselesaikan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
(3). Apabila terjadi hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini, Pemerintah dapat menghentikan untuk sementara waktu pengusahaannya atau dapat mencabut lain usaha yang bersangkutan.
BAB VIII KETENTUAN-KETENTUAN PIDANA
Pasal 11
Kecuali dalam hal tidak diatur secara khusus oleh Undang-undang lain, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) barang siapa tidak mematuhi:
a. Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 4 Undang-undang ini;
b. Ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah yang ditetapkan berdasarkan Pasal 5 dan Pasal 8 Undang-undang ini.
Pasal 12
Tindak pidana tersebut dalam Pasal 11 Undang-undang ini adalah kejahatan.
BAB IX KETENTUAN PENUTUP
Pasal 13
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 14
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan; Agar supaya setiap orang dapat mengatahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 6 Januari 1973.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SOEHARTO JENDERAL TNI.
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 6 Januari 1973
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, SUDHARMONO, SH. MAYOR JENDERAL TNI. PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1973 TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA.
I.                    UMUM.
Sejak beberapa waktu telah dilakukan kegiatan mencari sumbersumber kekayaan alam baru antara lain berupa eksplorasi minyak dan gas bumi dilandas kontinen. Kegiatan ini merupakan akibat daripada bertambah pentingnya dasar laut dan tanah dibawah landas kontinen sebagai sumber kekayaan alam dan kemajuan tehnik pengambilan kekayaan alam yang kian hari kian meningkat. Untuk mengamankan kepentingan rakyat Indonesia dalam landas kontinen yang berbatasan dengan negaranya, Pemerintah Indonesia pada tanggal 17 Pebruari 1969 telah mengeluarkan suatu Pengumuman tentang Landas Kontinen yang membuat azas-azas dan dasar-dasar pokok kebijaksanaan Pemerintah tentang Landas Kontinen Indonesia. Disamping pengumuman azas-azas dan dasar-dasar pokok kebijaksanaan diatas yang terutama ditujukan kepada dunia luar, dirasakan pula perlunya untuk menuangkan azas-azas dan dasar-dasar pokok kebijaksanaan itu dalam suatu Undang-undang agar supaya terdapat dasar yang kokoh bagi pelaksanaan hak-hak atas kekayaan yang diperoleh dari landas kontinen dan demi kepastian hukum. Disamping hal-hal yang bersifat umum seperti sifat dan ruang lingkup kekuasaan Negara atas landas kontinen, Undang-undang ini juga memberikan dasar-dasar bagi pengaturan eksplorasi dan eksploitasi serta penyelidikan jumlah atas kekayaan alam di landas kontinen dan masalahmasalah yang ditimbulkan olehnya.

II.                  PENJELASAN PASAL DEMI PASAL.
Pasal 1
a. Penggunaan istilah landas kontinen dalam Undang-undang ini disesuaikan dengan istilah yang digunakan dalam Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tanggal 17 Pebruari 1969.
b. Pengertian kekayaan alam dalam Undang-undang ini meliputi bahanbahan galian, kekayaan hayati dan kekayaan nabati.

Berdasarkan Pasal 1 huruf c dan Pasal 4 Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan mengenai eksplorasi dan eksploitasi diperluas berlakunya sehingga mencakup landas kontinen Indonesia. Pasal 2 Pasal ini menegaskan hak Negara pantai atas landas kontinen dan sebagai pengukuhan kebijaksanaan Pemerintah mengenai landas kontinen Indonesia yang tercantum dalam Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tanggal 17 Pebruari 1969. Pasal 3 Pasal ini menegaskan cara penetapan garis batas dalam hal landas kontinen berbatasan dengan negara tetangga. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Penyelidikan ilmiah atas kekayaan alam di landas kontinen antara lain meliputi penelitian ilmiah atas mineral, biologis (udang, kerang dan lain-lain) dan ekologis (batu-batu karang laut). Pasal 6 (1). Ayat ini menegaskan hak negara untuk membangun, memelihara dan menggunakan instalasi, kapal-kapal dan/atau alat-alat lainnya dilandas kontinen dan/atau diatasnya. (2). Yang dimaksud dengan daerah terlarang dalam ayat ini adalah daerah dimana kapal pihak ketiga dilarang lewat dan membuang/membongkar sauh (safety zone atau restricted navigation area). Yang dimaksud dengan daerah terbatas dalam ayat ini adalah daerah dimana kapal pihak ketiga boleh melewatinya, tetapi dilarang membuang sauh (prohibited anchorage area). Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 (1). Mewajibkan mengambil langkah-langkah pencegahan terhadap terjadinya pencemaran air laut dilandas kontinen dan udara diatasnya. (2). Cukup jelas. Pasal 9 Pasal ini memberikan dasar hukum kepada Negara atas instalasiinstalasi kapal-kapal dan/atau alat-alat lainnya yang dipergunakan di landas kontinen Indonesia dan/atau diatasnya. Pemberian yurisdiksi tersebut telah diakui dan dibenarkan oleh Hukum Internasional. Pasal 10 Segala kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di landas kontinen Indonesia yang bertujuan memperoleh kekayaan alam harus mengutamakan pertimbangan segi-segi pertahanan dan keamanan nasional dan lain-lainnya. Pasal 11 Memuat ketentuan pidana atas tidak dipatuhinya ketentuan-ketentuan mengenai eksplorasi, eksploitasi, penyelidikan ilmiah dan pencemaran air laut di landas kontinen Indonesia dan udara diatasnya. Ancaman hukuman yang bertalian dengan pencemaran yang disebabkan oleh instalasi-instalasi, kapal-kapal atau alat-alat lainnya dikenakan pada penanggung-jawab yang bersangkutan. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 dan 14 Memuat ketentuan-ketentuan penutup yang cukup jelas.

Batas Batas Wilayah Laut Berdasarkan Konvensi Hukum Laut International

Dalam konvensi hukum laut PBB yang ke-111 7 Oktober 1982, Indonesia berhasil memperjuangkan konsep negara kepulauan (Archipelagic States) untuk dicantumkan dalam pasal-pasal khusus, yaitu Pasal 46 – 54 UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) tahun 1982. Konvensi hukum laut internasional menetapkan batas-batas lautan sebagai berikut.
(1) Laut teritorial
Laut teritorial adalah lautan yang merupakan batas wilayah perairan suatu negara. Luas lautan teritorial setiap negara adalah 12 mil laut diukur berdasarkan garis lurus yang ditarik dari garis dasar atau garis pantai (base line) ketika air surut

(2) Zona tambahan
Zona tambahan menyatakan bahwa batas lautan selebar 12 mil laut yang dihitung atau diukur dari garis atau batas luar lautan teritorial. Dengan kata lain, lebar zona tambahan adalah 24 mil laut diukur berdasarkan garis lurus yang ditarik dari garis dasar atau garis pantai ketika air surut. Dengan demikian, zona tambahan terletak di luar berbatasan dengan laut teritorial. Dalam daerah tersebut, negara pantai dapat mengambil tindakan bagi pihak asing yang melanggar ketentuan undang-undang, bea cukai, imigrasi, dan ketertiban negara yang bersangkutan.

(3) Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
Pada 21 Maret 1980, Indonesia lebarnya 200 mil diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia. Di dalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, kebebasan pelayaran dan penerbangan  internasional serta kebebasan pemasangan kabel dan pipa di bawah permukaan laut dijamin sesuai dengan hukum internasional. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dikukuhkan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983

(4) Landas benua
Landas benua adalah wilayah daratan negara pantai yang berada di bawah lautan di luar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Lebar landas benua adalah 200 mil laut di lautan bebas. Dalam landas benua tersebut, negara pantai boleh mengeksploitasi dan mengolah sumber daya alam di dalamnya dengan persyaratan harus membagikan keuntungan kepada masyarakat internasional.

(5) Landas kontinen (continental self)
Landas kontinen adalah daratan yang berada di bawah permukaan air, di luar lautan teritorial sedalam 200 meter atau lebih. Bagi negara pantai, landas kontinen dinyatakan sebagai bagian tidak terpisahkan dari wilayah daratan sehingga negara itu mempunyai hak untuk menggali kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

(6) Laut pedalaman
Laut pedalaman adalah lautan dan selat yang berada pada bagian garis dasar yang menghubungkan pulau-pulau dalam wilayah suatu negara. Dalam wilayah tersebut, negara yang bersangkutan dapat menentukan segala peraturan yang berlaku di wilayahnya, tanpa terikat hukum internasional. Laut pedalaman hanya dimiliki oleh negara kepulauan, seperti Indonesia. Dengan adanya ketentuan batas wilayah lautan berdasarkan Traktat Montego Bay (Jamaika) 1982 itu, luas wilayah Indonesia yang sebelumnya kira-kira 2.027.087 km2 bertambah menjadi 5.193.252 km2.

Kamis, 15 Juni 2017

TERMINAL KHUSUS KEPELABUHANAN

Untuk menunjang kegiatan tertentu di luar Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan laut serta pelabuhan sungai dan danau dapat dibangun dan dioperasikan terminal khusus untuk kepentingan sendiri guna menunjang kegiatan usaha pokoknya.

Terminal khusus :

a. ditetapkan menjadi bagian dari pelabuhan terdekat;
b. wajib memiliki Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan tertentu; dan
c. ditempatkan instansi Pemerintah yang melaksanakan fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran, serta instansi yang melaksanakan fungsi pemerintahan sesuai dengan kebutuhan.


Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan tertentu , digunakan untuk:

a. lapangan penumpukan;
b. tempat kegiatan bongkar muat;
c. alur-pelayaran dan perlintasan kapal;
d. olah gerak kapal;
e. keperluan darurat; dan
f. tempat labuh kapal.

Terminal khusus  hanya dapat dibangun dan dioperasikan dalam hal:
a. pelabuhan terdekat tidak dapat menampung kegiatan pokok instansi pemerintah atau badan usaha; dan
b. berdasarkan pertimbangan ekonomis dan teknis operasional akan Iebih efektif dan efisien serta Iebih menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran.

Terminal Khusus dapat juga digunakan untuk menunjang usaha anak perusahaan sesuai dengan usaha pokok yang sejenis dan pemasok bahan baku dan peralatan penunjang produksi untuk keperluan badan usaha yang bersangkutan.

Kegiatan usaha pokok  antara lain:
a. pertambangan;
b. energi;
c. kehutanan;
d. pertanian;
e. perikanan;
f. industri;
g. pariwisata; dan
 h. dok dan galangan kapal.
i. Selain kegiatan usaha pokok diatas terminal khusus dapat dibangun dan dioperasikan untuk menunjang kegiatan pemerintahan, penelitian, pendidikan dan pelatihan serta sosial.

Rabu, 14 Juni 2017

Kegiatan Pengusahaan di Pelabuhan

Kegiatan pengusahaan di pelabuhan terdiri atas:
a. penyediaan dan/atau pelayanan jasa kapal, penumpang, dan barang; dan
b. jasa terkait dengan kepelabuhanan lainnya.


Penyediaan Pelayanan Jasa Kapal, Penumpang, dan Barang

 Penyediaan dan/atau pelayanan jasa kapal, penumpang, dan barang  terdiri atas:
a. penyediaan dan/atau pelayanan jasa dermaga untuk bertambat;
b. penyediaan dan/atau pelayanan pengisian bahan bakar dan pelayanan air bersih;
c. penyediaan dan/atau pelayanan fasilitas naik turun penumpang dan/atau kendaraan;
d. penyediaan dan/atau pelayanan jasa dermaga untuk pelaksanaan kegiatan bongkar muat barang dan peti kemas;
e. penyediaan dan/atau pelayanan jasa gudang dan tempat penimbunan barang, alat bongkar muat, serta peralatan pelabuhan;
f. penyediaan dan/atau pelayanan jasa terminal peti kemas, curah cair, curah kering, dan ro-ro;
g. penyediaan dan/atau pelayanan jasa bongkar muat barang;
h. penyediaan dan/atau pelayanan pusat distribusi dan konsolidasi barang; dan/atau
i. penyediaan dan/atau pelayanan jasa penundaan kapal.

Kegiatan  dilakukan oleh Badan Usaha Pelabuhan.

Kegiatan Jasa Terkait Dengan Kepelabuhanan lainnya

Penyediaan dan/atau pelayanan jasa terkait dengan kepelabuhanan meliputi:
a. penyediaan fasilitas penampungan limbah;
b. penyediaan depo peti kemas;
c. penyediaan pergudangan;
d. jasa pembersihan dan pemeliharaan gedung kantor;
e. instalasi air bersih dan listrik;
f. pelayanan pengisian air tawar dan minyak;
g. penyediaan perkantoran untuk kepentingan pengguna jasa pelabuhan;
h. penyediaan fasilitas gudang pendingin;
i. perawatan dan perbaikan kapal;
j. pengemasan dan pelabelan;
k. fumigasi dan pembersihan/perbaikan kontainer;
l. angkutan umum dari dan ke pelabuhan;
m. tempat tunggu kendaraan bermotor;
n. kegiatan industri tertentu;
o. kegiatan perdagangan;
p. kegiatan penyediaan tempat bermain dan rekreasi;
q. jasa periklanan; dan/atau
r. perhotelan, restoran, pariwisata, pos dan telekomunikasi.

Kegiatan  dilakukan oleh orang perseorangan warga negara Indonesia dan/atau badan usaha.

Badan Usaha Pelabuhan

Badan Usaha Pelabuhan  dapat melakukan kegiatan pengusahaan pada 1 (satu) atau beberapa terminal dalam 1 (satu) pelabuhan.
Badan Usaha Pelabuhan dalam melakukan kegiatan usahanya wajib memiliki izin usaha yang diberikan oleh:
a. Menteri untuk Badan Usaha Pelabuhan di pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul;
b. gubernur untuk Badan Usaha Pelabuhan di pelabuhan pengumpan regional; dan
c. bupati/walikota untuk Badan Usaha Pelabuhan di pelabuhan pengumpan lokal.

 Izin usaha  diberikan setelah memenuhi persyaratan:
a. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
b. berbentuk badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau perseroan terbatas yang khusus didirikan di bidang kepelabuhanan;
c. memiliki akte pendirian perusahaan; dan
d. memiliki keterangan domisili perusahaan.

Penetapan Badan Usaha Pelabuhan yang ditunjuk untuk melakukan kegiatan pengusahaan di pelabuhan pada pelabuhan yang berubah statusnya dari pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial menjadi pelabuhan yang diusahakan secara komersial dilakukan melalui pemberian konsesi dari Otoritas Pelabuhan.

Dalam melakukan kegiatan pengusahaan di pelabuhan Badan Usaha Pelabuhan wajib:
a. menyediakan dan memelihara kelayakan fasilitas pelabuhan;
b. memberikan pelayanan kepada pengguna jasa pelabuhan sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan oleh Pemerintah;
c. menjaga keamanan, keselamatan, dan ketertiban pada terminal dan fasilitas pelabuhan yang dioperasikan;
d. ikut menjaga keselamatan, keamanan, dan ketertiban yang menyangkut angkutan di perairan;
e. memelihara kelestarian lingkungan;
f. memenuhi kewajiban sesuai dengan konsesi dalam perjanjian; dan
g. mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan, baik secara nasional maupun internasional.

Bentuk Kerjasama Konsesi atau Bentuk Lainnya :

 Konsesi diberikan kepada Badan Usaha Pelabuhan untuk kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kapal, penumpang, dan barang yang dituangkan dalam bentuk perjanjian.
Pemberian konsesi kepada Badan Usaha Pelabuhan dilakukan melalui mekanisme pelelangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Jangka waktu konsesi disesuaikan dengan pengembalian dana investasi dan keuntungan yang wajar. Perjanjian  paling sedikit memuat:
a. lingkup pengusahaan;
b. masa konsesi pengusahaan;
c. tarif awal dan formula penyesuaian tarif;
d. hak dan kewajiban para pihak, termasuk resiko yang dipikul para pihak dimana alokasi resiko harus didasarkan pada prinsip pengalokasian resiko secara efisien dan seimbang;
e. standar kinerja pelayanan serta prosedur penanganan keluhan masyarakat;
f. sanksi dalam hal para pihak tidak memenuhi perjanjian pengusahaan;
g. penyelesaian sengketa;
h. pemutusan atau pengakhiran perjanjian pengusahaan;
i. sistem hukum yang berlaku terhadap perjanjian pengusahaan adalah hukum Indonesia;
j. keadaan kahar; dan
k. perubahan-perubahan.


Dalam hal masa konsesi telah berakhir, fasilitas pelabuhan hasil konsesi beralih atau diserahkan kembali kepada penyelenggara pelabuhan. Fasilitas pelabuhan yang sudah beralih kepada penyelenggara pelabuhan pengelolaannya diberikan kepada Badan Usaha Pelabuhan untuk kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kapal, penumpang, dan barang berdasarkan kerjasama pemanfaatan melalui mekanisme pelelangan. 

Badan Usaha Pelabuhan yang telah ditetapkan melalui mekanisme pelelangan dalam melaksanakan kegiatan pengusahaannya di pelabuhan harus dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kerjasama pemanfaatan diberikan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun sejak perjanjian kerjasama pemanfaatan ditandatangani.

 Dalam kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa terkait dengan kepelabuhanan sebagaimana penyelenggara pelabuhan dapat melakukan kerjasama dengan orang perseorangan warga negara Indonesia dan/atau badan usaha.

Kerjasama sebagaimana dapat dilakukan dalam bentuk:
a. penyewaan lahan;
b. penyewaan gudang; dan/atau
c. penyewaan penumpukan.

Penyewaan  dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pendapatan konsesi dan kompensasi yang diterima oleh Otoritas Pelabuhan merupakan penerimaan negara yang penggunaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pemberian dan pencabutan konsesi serta kerjasama diatur dengan Peraturan Menteri.

Penyelenggaraan Kegiatan di Pelabuhan

Kegiatan pemerintahan dan pengusahaan di pelabuhan diselenggarakan secara terpadu dan terkoordinasi.

A. Kegiatan Pemerintahan di Pelabuhan

Kegiatan pemerintahan di pelabuhan meliputi:

a. pengaturan dan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan kepelabuhanan;
b. keselamatan dan keamanan pelayaran; dan/atau
c. kepabeanan;
d. keimigrasian;
e. kekarantinaan.

Selain kegiatan pemerintahan di pelabuhan  terdapat kegiatan pemerintahan lainnya yang keberadaannya bersifat tidak tetap. 

Pengaturan dan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan kepelabuhanan
dilaksanakan oleh penyelenggara pelabuhan. 

Fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran dilaksanakan oleh Syahbandar. 

Fungsi kepabeanan, keimigrasian, dan kekarantinaan  dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

B. Penyelenggara Pelabuhan


Penyelenggara pelabuhan yaitu terdiri atas:
a. Otoritas Pelabuhan; atau
b. Unit Penyelenggara Pelabuhan.

Otoritas Pelabuhan  dibentuk pada pelabuhan yang diusahakan secara komersial.

Unit Penyelenggara Pelabuhan dibentuk pada pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial.

Unit Penyelenggara Pelabuhan dapat merupakan Unit Penyelenggara Pelabuhan Pemerintah dan Unit Penyelenggara Pelabuhan pemerintah daerah.

Otoritas Pelabuhan  dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada Menteri.
Unit Penyelenggara Pelabuhan  dibentuk dan bertanggung jawab kepada:
 a. Menteri untuk Unit Penyelenggara Pelabuhan Pemerintah; dan
 b. gubernur atau bupati/walikota untuk Unit Penyelenggara Pelabuhan pemerintah daerah.

(Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan dibentuk untuk 1 (satu) atau beberapa pelabuhan. 

Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan  berperan sebagai wakil Pemerintah untuk memberikan konsesi atau bentuk lainnya kepada Badan Usaha Pelabuhan untuk melakukan kegiatan pengusahaan di pelabuhan yang dituangkan dalam perjanjian.

Hasil konsesi yang diperoleh Otoritas Pelabuhan merupakan pendapatan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Untuk melaksanakan fungsi pengaturan dan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan kepelabuhanan  Otoritas Pelabuhan mempunyai tugas dan tanggung jawab: 
a. menyediakan lahan daratan dan perairan pelabuhan; 
b. menyediakan dan memelihara penahan gelombang, kolam pelabuhan, alur-pelayaran, dan jaringan jalan; 
c. menyediakan dan memelihara Sarana Bantu NavigasiPelayaran;  
d. menjamin keamanan dan ketertiban di pelabuhan; 
e. menjamin dan memelihara kelestarian lingkungan di pelabuhan; 
f. menyusun Rencana Induk Pelabuhan, serta Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan; 
g. mengusulkan tarif untuk ditetapkan Menteri, atas penggunaan perairan dan/atau daratan, dan fasilitas pelabuhan yang disediakan oleh Pemerintah serta jasa kepelabuhanan yang diselenggarakan oleh Otoritas Pelabuhan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan 
h. menjamin kelancaran arus barang.

Selain tugas dan tanggung jawab  Otoritas Pelabuhan melaksanakan kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan yang diperlukan oleh pengguna jasa yang belum disediakan oleh Badan Usaha Pelabuhan. 

Untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab  Otoritas Pelabuhan mempunyai wewenang:
a. mengatur dan mengawasi penggunaan lahan daratan dan perairan pelabuhan;
b. mengawasi penggunaan Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan;
c. mengatur lalu lintas kapal ke luar masuk pelabuhan melalui pemanduan kapal; dan
d. menetapkan standar kinerja operasional pelayanan jasa kepelabuhanan.


Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan diberi hak pengelolaan atas tanah dan pemanfaatan perairan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Aparat Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan merupakan pegawai negeri sipil yang mempunyai kemampuan dan kompetensi di bidang kepelabuhanan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. 


Unit Penyelenggara Pelabuhan  mempunyai tugas dan tanggung jawab:
a. menyediakan dan memelihara penahan gelombang, kolam pelabuhan, dan alur-pelayaran;
b. menyediakan dan memelihara Sarana Bantu NavigasiPelayaran;
c. menjamin keamanan dan ketertiban di pelabuhan;
d. memelihara kelestarian lingkungan di pelabuhan;
e. menyusun Rencana Induk Pelabuhan, serta Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan;
f. menjamin kelancaran arus barang; dan
g. menyediakan fasilitas pelabuhan.

Dalam mendukung kawasan perdagangan bebas dapat diselenggarakan pelabuhan tersendiri. Penyelenggaraan pelabuhan  dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kawasan perdagangan bebas. Pelaksanaan fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran pada pelabuhan  dilaksanakan sesuai dengan ketentuan UndangUndang ini.

Ketentuan lebih lanjut mengenai Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

C. Kegiatan Pengusahaan di Pelabuhan

Kegiatan pengusahaan di pelabuhan terdiri atas penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan dan jasa terkait dengan kepelabuhanan.
Penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan meliputi penyediaan dan/atau pelayanan jasa kapal, penumpang, dan barang.

Penyediaan dan/atau pelayanan jasa kapal, penumpang, dan barang terdiri atas:
a. penyediaan dan/atau pelayanan jasa dermaga untuk bertambat;
b. penyediaan dan/atau pelayanan pengisian bahan bakar dan pelayanan air bersih;
c. penyediaan dan/atau pelayanan fasilitas naik turun penumpang dan/atau kendaraan;
d. penyediaan dan/atau pelayanan jasa dermaga untuk pelaksanaan kegiatan bongkar muat barang dan peti kemas;
e. penyediaan dan/atau pelayanan jasa gudang dan tempat penimbunan barang, alat bongkar muat, serta peralatan pelabuhan;
f. penyediaan dan/atau pelayanan jasa terminal peti kemas, curah cair, curah kering, dan Ro-Ro;
g. penyediaan dan/atau pelayanan jasa bongkar muat barang;
h. penyediaan dan/atau pelayanan pusat distribusi dan konsolidasi barang; dan/atau i. penyediaan dan/atau pelayanan jasa penundaan kapal.


Kegiatan jasa terkait dengan kepelabuhanan meliputi kegiatan yang menunjang kelancaran operasional dan memberikan nilai tambah bagi pelabuhan.

Kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhananpada pelabuhan yang diusahakan secara komersial dilaksanakan oleh Badan Usaha Pelabuhan sesuai dengan jenis izin usaha yang dimilikinya.
Kegiatan pengusahaan yang dilakukan oleh Badan Usaha Pelabuhandapat dilakukan untuk lebih dari satu terminal.
Kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan pada pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial dilaksanakan oleh Unit Penyelenggara Pelabuhan.

Dalam keadaan tertentu, terminal dan fasilitas pelabuhan lainnya pada pelabuhan yang diusahakan Unit Penyelenggara Pelabuhan dapat dilaksanakan oleh Badan Usaha Pelabuhan berdasarkan perjanjian.

Kegiatan jasa terkait dengan kepelabuhanan dapat dilakukan oleh orang perseorangan warga negara Indonesia dan/atau badan usaha.

Kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan yang dilaksanakan oleh Badan Usaha Pelabuhan dilakukan berdasarkan konsesi atau bentuk lainnya dari Otoritas Pelabuhan, yang dituangkan dalam perjanjian.

D. Badan Usaha Pelabuhan

Badan Usaha Pelabuhan  berperan sebagai operator yang mengoperasikan terminal dan fasilitas pelabuhan lainnya.

Dalam melaksanakan kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan Badan Usaha Pelabuhan berkewajiban:
a. menyediakan dan memelihara kelayakan fasilitas pelabuhan;
b. memberikan pelayanan kepada pengguna jasa pelabuhan sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan oleh Pemerintah;
c. menjaga keamanan, keselamatan, dan ketertiban pada fasilitas pelabuhan yang dioperasikan;
d. ikut menjaga keselamatan, keamanan, dan ketertiban yang menyangkut angkutan di perairan;
e. memelihara kelestarian lingkungan;
f. memenuhi kewajiban sesuai dengan konsesi dalam perjanjian; dan
g. mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan, baik secara nasional maupun internasional. 

Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Usaha Pelabuhan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

E.  Pembangunan dan Pengoperasian Pelabuhan

Pembangunan pelabuhan laut dilaksanakan berdasarkan izin dari:
a. Menteri untuk pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul; dan
b. gubernur atau bupati/walikota untuk pelabuhan pengumpan.

Pembangunan pelabuhan laut  harus memenuhi persyaratan teknis kepelabuhanan, kelestarian lingkungan, dan memperhatikan keterpaduan intra-dan antarmoda transportasi.

Pelabuhan laut hanya dapat dioperasikan setelah selesai dibangun dan memenuhi persyaratan operasional serta memperoleh izin.
Izin mengoperasikan pelabuhan laut diberikan oleh:
a. Menteri untuk pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul; dan
b. gubernur atau bupati/walikota untuk pelabuhan pengumpan.

Pembangunan pelabuhan sungai dan danau wajib memperoleh izin dari bupati/walikota. Pembangunan pelabuhan sungai dan danau dilaksanakan berdasarkan persyaratan teknis kepelabuhanan, kelestarian lingkungan, dengan memperhatikan keterpaduan intradan antarmoda transportasi. Pelabuhan sungai dan danau hanya dapat dioperasikan setelah selesai dibangun dan memenuhi persyaratan operasional serta memperoleh izin.Izin mengoperasikan pelabuhan sungai dan danau diberikan oleh bupati/walikota.

Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan pembangunan dan pengoperasian pelabuhan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

F. Terminal Khusus dan Terminal untuk Kepentingan Sendiri

Untuk menunjang kegiatan tertentu di luar Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan dapat dibangun terminal khusus.

Untuk menunjang kegiatan tertentu di dalam Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan dapat dibangun terminal untuk kepentingan sendiri.

Terminal khusus : 
a. ditetapkan menjadi bagian dari pelabuhan terdekat;
b. wajib memiliki Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan tertentu; dan
c. ditempatkan instansi Pemerintah yang melaksanakan fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran, serta instansi yang melaksanakan fungsi pemerintahan sesuai dengan kebutuhan.

Terminal khusus  hanya dapat dibangun dan dioperasikan dalam hal:
a. pelabuhan terdekat tidak dapat menampung kegiatan pokok tersebut; dan
b. berdasarkan pertimbangan ekonomis dan teknis operasional akan lebih efektif dan efisien serta lebih menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran apabila membangun dan mengoperasikan terminal khusus.

Untuk membangun dan mengoperasikan terminal khusus wajib dipenuhi persyaratan teknis kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan pelayaran, dan kelestarian lingkungan dengan izin dari Menteri.
Izin pengoperasian terminal khusus diberikan untuk jangka waktu maksimal 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan berdasarkan Undang-Undang ini.

Terminal khusus dilarang digunakan untuk kepentingan umum kecuali dalam keadaan darurat dengan izin Menteri.

Terminal khusus yang sudah tidak dioperasikan sesuai dengan izin yang telah diberikan dapat diserahkan kepada Pemerintah atau dikembalikan seperti keadaan semula atau diusulkan untuk perubahan status menjadi terminal khusus untuk menunjang usaha pokok yang lain atau menjadi pelabuhan.

Terminal khusus  yang diserahkan kepada Pemerintah dapat berubah statusnya menjadi pelabuhan Umum ( Terminal Umum )setelah memenuhi persyaratan:
a. sesuai dengan Rencana Induk Pelabuhan Nasional;
b. layak secara ekonomis dan teknis operasional;
c. membentuk atau mendirikan Badan Usaha Pelabuhan;
d. mendapat konsesi dari Otoritas Pelabuhan;
e. keamanan, ketertiban, dan keselamatan pelayaran; dan
f. kelestarian lingkungan.

Dalam hal terminal khusus berubah status menjadi pelabuhan, tanah daratan dan/atau perairan, fasilitas penahan gelombang, kolam pelabuhan, alur-pelayaran, dan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran yang dikuasai dan dimiliki oleh pengelola terminal khusus diserahkan dan dikuasai oleh negara.
Ketentuan lebih lanjut mengenai terminal khusus dan perubahan status terminal khusus diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Kamis, 08 Juni 2017

Hukum Perjanjian (Overeenkomstenrecht)

Macam -Macam Perjanjian

Perjanjian dari segi Prestasi
  1. Perjanjian timbal balik . Kedua belah pihak harus memenuhi kewajiban utama atau prestasi contoh Perjanjian jual beli ,perjanjian  sewa menyewa dan perjanjian kredit.
  2. Perjanjian timbal balik tidak sempurna atau  perjanjian timbal balik kebetulan. Pihak yang satu memenuhi kewajiban yang tidak seimbang dengan kewajiban pihak lainnya.
  3. Perjanjian Sebelah. Hanya satu pihak mempunyai kewajiban atau prestasi.

Syarat Sahnya Perjanjian :
Syarat sah perjanjian terdapat dalam pasal 1320 KUH Per :
"Untuk sahnya perjanjian diperlukan 4 syarat :
  1. Adanya kesepakatan para pihak yang mengikatkan diri
  2. Adanya Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
  3. Adanya suatu hal tertentu 
  4. Suatu sebab yang halal/legal 
Hapusnya Perikatan Perjanjian :
Diatur dalam KUH Perdata Pasal 1381 terjadi karena :
  1. Lewatnya jangka waktu (ketetapan waktu) yang dicantumkan dalam perjanjian
  2. Hilangnya atau meninggalnya seorang/anggota pihak dalam perjanjian 
  3. Meninggalnya orang yang memberikan perintah
  4. Karena pernyataan pailit dalam perjanjian maatschap
  5. didalam perjanjian ditegaskan hal hal yang menghapuskan perjanjian itu.
Batalnya Perjanjian/Perikatan:
 Batalnya perjanjian diatur dalam pasal 1446 s.d 1456 KUHPer sebagai berikut :
  1.  Batal karena perjanjian dibuat oleh orang yang tidak cakap hukum yaitu yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa dibawah pengampuan (curatele) dan seorang wanita yang berada dalam perkawinan atau berstatus sebagai istri.
  2. Apabila Perjanjian itu bertentangan dengan perundang-undangan,kesusilaan dan ketertiban umum
  3. Apabila perjanjian itu mempunyai unsur paksaan (dwang),kekeliruan(dwaling) atau penipuan (bedrog).
 Perjanjian Sewa Menyewa (Huur en Verhuur) diatur pasal 1549-1598 KUH Perdata

Pengertian Perjanjian Sewa Menyewa adalah suatu perjanjian untuk menyerahkan suatu barang untuk digunakan dalam waktu yang tertentu dan dengan sewa yang tertentu ( pasal 1549 KUH Per ).

Kewajiban Penyewa (pasal 1560-1566 KUH Perdata) :
  1. Membayar uang sewa pada waktu yang telah ditentukan
  2. Tidak diperkenankan merubah tujuan barang yang disewakan
  3. Mengganti kerugian apabila terjadi kerusakan yang disebabkan oleh penyewa sendiri atau oleh orang orang yang diam didalam rumah yang disewa.
  4. Mengembalikan barang yang disewa dalam keadaan semula kalau perjanjian sewa menyewa tersebut telah habis waktunya.
  5. Menjaga barang yang disewa bagaikan milik sendiri dengan bertanggung jawab.
  6. Tidak boleh menyewakan lagi barang sewaannya kepada orang lain. 

Perjanjian Sewa Tanah atau Lahan :
Dalam perjanjian sewa menyewa tanah :
  1. Memakai tanah itu sesuai dengan tujuan
  2. berlaku sebagai tuan rumah yang bertanggung jawab
  3. menepati janji

Rabu, 07 Juni 2017

Hukum Perdata

Sistematika Hukum Perdata

KUH Perdata dibagi dalam  4 Kitab atau Buku (Boeken) masing masing buku (kitab /boeken) masing masing buku itu dibagi dalam Bab (Titel), Masing masing Bab dibagi dalam Bagian ( Afdeeling) dan masing masing bagian dibagi dalam pasal-pasal.

KUH Perdata terdiri dari 4 Kitab (buku)

  1. Buku I  Perihal Orang yang memuat hukum perorangan dan hukum kekeluargaan
  2. Buku II Perihal Benda yang memuat hukum kebendaan dan hukum waris
  3. Buku III Perihal Perikatan  yang memuat hukum harta kekayaan yang berkenaan dengan hak-hak dan kewajiban yang berlaku bagi orang-orang atau pihak pihak tertentu
  4. Buku IV Perihal Pembuktian dan Kadaluarsa atau Lewat waktu terhadap hubungan hubungan hukum
Pembagian Hukum Perdata menurut asas pembagiannya sebagai berikut:


  • Hukum Perdata berdasarkan Sumbernya


  1. Hukum Undang Undang yaitu hukum yang tercantum dalam perundang undangan
  2. Hukum Adat Kebiasaan Yaitu hukum yang terletak didalam peraturan peraturan kebiasaan adat
  3. Hukum Traktat yaitu hukum yang ditetapkan oleh negara(traktat)
  4. Hukum Jurisprudensi yaitu hukum yang terbentuk karena keputusan hakim.
  • Hukum Perdata Menurut Bentuknya
  1. Hukum Tertulis ( yang dikodifikasikan dan tak dikodifikasikan)
  2. Hukum Tak Tertulis ( Hukum Kebiasaan ) 
  • Hukum Perdata Menurut Isinya
  1. Hukum Privat ( Hukum Sipil) yaitu hukum yang mengatur hubungan -hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain yang menitik beratkan pada kepentingan perseorangan.
  2. Hukum Publik (Hukum Negara) Mengatur hubungan antara Negara dengan Perseorangan ( Warga Negara ,atau Negara dengan Alat alat kelengkapan Negara.

Kamis, 01 Juni 2017

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1969 TENTANG SUSUNAN DAN TATA KERJA KEPELABUHANAN DAN DAERAH PELAYARAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 1969
TENTANG
SUSUNAN DAN TATA KERJA KEPELABUHANAN DAN DAERAH PELAYARAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
a.         bahwa masalah kepelabuhanan merupakan faktor yang tidak terpisah dalam sistem ekonomi negara secara keseluruhan, maka Institut Kepelabuhanan perlu disesuaikan dengan landasan baru tentang kebijaksanaan umum dalam Ekonomi dan Keuangan;
b.         bahwa pelabuhan sebagai prasarana ekonomi merupakan penunjang bagi perkembangan Industri, Perdagangan maupun Pelayaran, oleh karenanya sistem pengelolaan perlu disesuaikan dengan fungsinya.

Mengingat:
1.         Pasal 5 ayat 2 Undang-undang Dasar 1945;
2.         Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XXIII/MPRS/1966;
3.         Undang-undang Pelayaran Indonesia tahun 1936 (Stbl. 936 Nomor 700);
4.         Reglement-reglement tentang pelabuhan dan tata-tertib bandar;
5.         Undang-undang Nomor 25 tahun 1968 (Lembaran Negara tahun 1968 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2879) tentang pernyataan tidak berlakunya berbagai PENPRES dan PERPRES.

MEMUTUSKAN:

Dengan mencabut Peraturan Presiden Nomor 18 tahun 1964 (Lembaran Negara tahun 1964 Nomor 49) beserta semua peraturan-peraturan pelaksanaannya.

Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG SUSUNAN DAN TATA KEPELABUHAN DAN DAERAH PELAYARAN

BAB I
KETENTUAN-KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan Pelabuhan: adalah lingkungan kerja dan tempat berlabuh bagi kapal-kapal dan kendaraan air lainnya untuk menyelenggarakan bongkar-muat barang, hewan dan penumpang; Pelabuhan yang diusahakan: adalah pelabuhan dalam pembinaan Pemerintah yang sesuai kondisi, kemampuan dan perkembangan potensinya diusahakan menurut asas-asas/hukum perusahaan atas ketetapan Menteri;
Pelabuhan yang tidak diusahakan: adalah pelabuhan dalam pembinaan Pemerintah yang sesuai kondisi, kemampuan dan perkembangan potensinya masih lebih menonjol sifat "overheidszorg" dan atau yang belum ditetapkan sebagai pelabuhan yang diusahakan;
Pelabuhan otonom: adalah pelabuhan yang diserahi wewenang untuk mengatur diri sendiri dengan suatu peraturan perundangan tersendiri;
Pelabuhan khusus: adalah pelabuhan yang khusus untuk melayani suatu kegiatan industri yang penyelenggaraannya dilakukan oleh perusahaan yang bersangkutan;
Pelabuhan Laut dan Pelabuhan Pantai: adalah pelabuhan sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Pelayaran Indonesia tahun 1936 dan Peraturan Perundang-undangan lainnya;
Administrator Pelabuhan: adalah pejabat yang oleh Menteri ditetapkan sebagai pimpinan umum di pelabuhan-pelabuhan tertentu yang diusahakan;
Kepala Pelabuhan: ialah pejabat yang oleh Menteri ditetapkan sebagai pimpinan umum di pelabuhan-pelabuhan yang tidak diusahakan dan di pelabuhan-pelabuhan tertentu yang diusahakan;
Menteri: adalah Menteri Perhubungan.

Pasal 2
Pelabuhan sebagai "terminal point" untuk kapal laut serta kendaraan air lainnya, merupakan komponen logistik-teknis yang tidak terpisahkan daripada penyelenggaraan angkutan laut.
Dalam fungsinya sebagai terminal point, pelabuhan merupakan lingkungan kerja khusus yang penyelenggaraannya dan pengusahaannya diwujudkan dalam bentuk penanggung jawab tunggal dan umum di bawah Menteri atau Pejabat yang ditunjuknya.

Pasal 3
(1)        Pelabuhan meliputi:
a.         lingkungan kerja yang terdiri atas luas perairan termasuk batas-batas perairan pelabuhan dan luas daratan untuk keperluan terminal;
b.         lingkungan kepentingan pelabuhan.
(2)        Lingkungan kerja pelabuhan meliputi segala fasilitas teknisnya yang memungkinkan pelaksanaan penyelenggaraan angkatan laut maupun usaha-usaha terminal;
(3)        Lingkungan kepentingan pelabuhan ialah lingkungan di sekeliling lingkungan kerja pelabuhan dimana penggunaan tanah dan pembangunan gedung-gedung dan lain bangunan dilakukan setelah mendapat persetujuan pejabat yang ditunjuk Menteri dan mendengar Menteri Dalam Negeri atau pejabat-pejabat yang ditunjuknya. Demikian pula dimana perlu, maka akan mencakup lingkungan untuk penyelenggaraan angkutan melalui sungai dan terusan.

Pasal 4
Batas-batas lingkungan kerja pelabuhan dan batas lingkungan kepentingan pelabuhan ialah sebagaimana diatur dalam peraturan-peraturan yang ditetapkan untuk masing-masing pelabuhan oleh Menteri setelah mendengar Menteri Dalam Negeri dan Gubernur/Kepala Daerah yang bersangkutan.

Pasal 5
Menteri cq Direktur Jenderal Perhubungan Laut membina dan mengarahkan penggunaan fasilitas-fasilitas kepelabuhanan untuk kapal-kapal laut dan kendaraan air lainnya untuk keperluan:
a.         melabuh dan menambat kapal-kapal guna embarkasi dan debarkasi penumpang, bongkar-muat barang, hewan dan lain-lain;
b.         pemberian fasilitas untuk pelbagai keperluan kapal;
c.         pemeriksaan-pemeriksaan bertalian dengan peraturan-peraturan keselamatan dan tata-tertib pelayaran serta tata-tertib bandar;
d.         penyaluran barang-barang untuk masuk dan keluar pelabuhan;
e.         pemeriksaan-pemeriksaan bertalian dengan peraturan-peraturan Instansi-instansi Pemerintah lainnya yang mempunyai suatu tugas Pemerintahan terhadap lalu-lintas barang dan penumpang seperti bea-cukai, kesehatan, pertanian, perdagangan dan lain-lain.

Pasal 6
Pembinaan dan pengusahaan pelabuhan sebagai "terminal point" untuk kapal laut/kendaraan air lainnya meliputi:
a.         penyediaan alur-alur pelayaran dan luas perairan untuk lalu-lintas pelayaran dan melabuh;
b.         penyediaan jasa-jasa yang berhubungan dengan pemanduan kapal-kapal (pilotage) dan tata-tertib bandar;
c.         penyediaan jembatan untuk bertambat, bongkar, muat dan lain-lain;
d.         penyediaan gudang-gudang dan tempat-tempat penimbunan barang-barang;
e.         penyediaan tanah untuk pelbagai bangunan, lapangan sehubungan dengan kepentingan pendistribusian barang;
f.          fasilitas bunkering, bahan bakar dan air;
g.         jaring-jaring jalan dan jembatan, saluran pembuangan air, saluran listrik, air minum, pemadam kebakaran dan lain- lain;
h.         perencanaan dan perijinan penggunaan tanah.

BAB II
KEDUDUKAN DAN HUBUNGAN KERJA

Pasal 7
(1)        Menteri mengatur sepenuhnya segala sesuatu yang bertalian dengan penyelenggaraan pelabuhan dan menunjuk seorang pejabat yang memegang tanggung jawab dan pimpinan umum yaitu Administrator Pelabuhan atau Kepala Pelabuhan;
(2)        Instansi-instansi pemerintahan di pelabuhan yang menyelenggarakan suatu tugas pemerintahan terhadap lalu-lintas pelayaran, barang dan penumpang, menjalankan tugasnya dengan mengindahkan tata-tertib umum dan pengusahaan pelabuhan yang ditetapkan oleh Administrator Pelabuhan atau Kepala Pelabuhan. Instansi-instansi tersebut secara hierarchies fungsionil tetap berada di bawah pimpinan masing-masing Departemen.

Pasal 8
Administrator Pelabuhan atau Kepala Pelabuhan mengadakan koordinasi kerja lateral dengan Pemerintah Daerah setempat yang bersangkutan.

BAB III
FUNGSI DAN PENGGOLONGAN PELABUHAN

Pasal 9
Menteri menetapkan pembukaan pelabuhan-pelabuhan dalam fungsi maupun penggolongannya untuk melayani perdagangan internasional, nasional, regional, lokal dan keperluan khusus atas pertimbangan dan saran-saran dari Menteri Perdagangan/Menteri Keuangan ataupun Pemerintah Daerah.

Pasal 10
Persyaratan umum tentang pembangunan pelabuhan khusus dan penggunaannya ditetapkan oleh Menteri.

BAB IV
ORGANISASI DAN PENGELOLAAN PELABUHAN

Pasal 11
1.         Pembinaan pelabuhan-pelabuhan yang tersebar di seluruh Nusantara harus tersusun dalam sistem kepelabuhanan nasional, yang dilaksanakan oleh Departemen Perhubungan;
2.         Komponen-komponen pelaksana utama dalam pelabuhan adalah kesatuan-kesatuan organik Departemen Perhubungan/Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, dilengkapi dengan instansi-instansi Pemerintah lainnya yang mempunyai tugas terhadap lalu-lintas pelayaran, penumpang dan barang;
3.         Penyusunan organisasi pembinaan pelabuhan berasaskan penanggung jawab tunggal dan umum guna mewujudkan pengintegrasian antara unsur-unsur pemberi jasa di satu pihak dan unsur-unsur pengguna jasa di lain pihak;
4.         Susunan organisasi kepelabuhanan disesuaikan dengan kebutuhan, situasi dan kondisi setempat.

Pasal 12
(1)        Pimpinan umum di pelabuhan-pelabuhan tertentu yang diusahakan adalah Administrator Pelabuhan dibantu oleh Badan Musyawarah Pelabuhan (B.M.P.);
(2)        Pimpinan umum di pelabuhan-pelabuhan yang tidak diusahakan dan di pelabuhan-pelabuhan yang diusahakan yang tidak termasuk ayat 1 pasal ini adalah Kepala Pelabuhan.

Pasal 13
Menteri mengangkat dan menetapkan Administrator Pelabuhan dan Kepala Pelabuhan.

Pasal 14
Bagi pelabuhan-pelabuhan otonom, penyelenggaraan pengelolaan dan organisasinya akan diatur dengan peraturan tersendiri.

Pasal 15
(1)        Badan Musyawarah Pelabuhan (B.M.P.) bertugas membantu mengadakan pemikiran terhadap masalah-masalah yang memerlukan pemecahan bersama dalam pendayagunaan dan pengusahaan Pelabuhan;
(2)        Hasil musyawarah B.M.P. dalam usahanya tersebut di atas, merupakan pedoman pelaksanaan bagi Administrasi Pelabuhan;
(3)        B.M.P. beranggotakan:
a.         Wakil-wakil Departemen yang secara vertikal mempunyai tugas langsung dengan kegiatan kepelabuhanan setempat serta Utusan dari Pemerintah Daerah yang bersangkutan;
b.         Wakil-wakil dari organisasi swasta dan badan-badan resmi yang mempunyai kegiatan usaha di pelabuhan setempat.
(4)        Anggota-anggota B.M.P. ditunjuk oleh masing-masing instansi tersebut ayat (3) pasal ini dan diusulkan melalui Administrator Pelabuhan untuk diangkat/ditetapkan oleh Menteri;
(5)        Menteri menetapkan Ketua B.M.P. dengan berpedoman pada usul-usul hasil musyawarah dari para anggota B.M.P.

Pasal 16
Dalam menyelenggarakan keamanan di wilayah pelabuhan kepada Administrator Pelabuhan/Kepala Pelabuhan diperbantukan kesatuan-kesatuan dari instansi Hankam, yang taktis operasional berada di bawah Administrator/Kepala Pelabuhan.

Pasal 17
Menteri bertanggung jawab terhadap pembinaan kepelabuhanan khususnya mengenai aspek pendayagunaan dan perkembangan pelabuhan-pelabuhan di Indonesia.

Pasal 18
(1)        Pelabuhan-pelabuhan yang terletak dalam satu atau beberapa Daerah tingkat I/Propinsi yang dipandang dari sudut kepentingan pembinaan dan perkembangan pelayaran daerah merupakan suatu wilayah kesatuan ekonomi, dikoordinir oleh Kepala Daerah Pelayaran yang bertugas sebagai wakil Departemen Perhubungan;
(2)        Kepala Daerah Pelayaran dalam menjalankan tugasnya untuk mengembangkan urusan pemerintahan berkenaan dengan sektor perhubungan laut bekerja sama dengan Pemerintah Daerah bersangkutan dan instansi-instansi Pemerintah lainnya;
(3)        Susunan dan jumlah pelabuhan-pelabuhan serta tugas-tugas dari Kepala Daerah Pelayaran ditetapkan oleh Menteri.

BAB V
PEMBIAYAAN DAN PERTANGGUNGAN-JAWAB KEUANGAN

Pasal 19
(1)        Sumber pendapatan pelabuhan berasal:
a.         pungutan atas jasa-jasa dan fasilitas pelabuhan;
b.         anggaran Pemerintah;
c.         sumber-sumber lainnya.
(2)        Jasa-jasa dan fasilitas pelabuhan yang boleh dipungut atau dikenakan kepada para pemakainya akan diatur dalam peraturan tersendiri;
(3)        Sumber-sumber pendapatan tersebut dalam ayat (1) sub c pasal ini akan diatur oleh Menteri.

Pasal 20
(1)        Pembiayaan dari pelabuhan-pelabuhan diatur menurut kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:
a.         yang sepenuhnya dibiayai oleh Pemerintah (Pusat);
b.         yang dibiayai oleh Pemerintah (Pusat) bersama dengan Daerah;
c.         yang dibiayai dari hasil pelabuhan itu sendiri (otonom).
(2)        Menteri mengatur sistem pembiayaan pelabuhan sesuai dengan kemungkinan tersebut ayat (1) di atas.

Pasal 21
(1)        Pertanggungan-jawab keuangan bagi pelabuhan-pelabuhan yang diusahakan diatur menurut ketentuan-ketentuan I.B.W. dan atau menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
(2)        Pertanggungan jawab keuangan bagi pelabuhan-pelabuhan yang tidak diusahakan diatur menurut ketentuan-ketentuan I.C.W.

BAB VI
KETENTUAN-KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 22
Susunan organisasi dan pengelolaan (management) pelabuhan yang ada pada saat ini harus disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah ini selambat-lambatnya dalam jangka waktu 90 hari sejak ditetapkannya.

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 23
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, akan diatur kemudian oleh Menteri.

Pasal 24
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada hari ditetapkan. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini, dengan penempatan dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.


Ditetapkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 18 Januari 1969
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
SOEHARTO.
Jenderal T.N.I.

Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 18 Januari 1969
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
ALAMSJAH.

Mayor Jenderal T.N.I.