Rabu, 31 Mei 2017

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1969 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN PENGUSAHAAN ANGKUTAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
a.   bahwa angkutan laut sebagai sarana perhubungan perlu diselenggarakan atas dasar kepentingan umum dan ditujukan untuk membina kesatuan ekonomi negara kepulauan Indonesia serta melayani dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional;
b.   bahwa untuk mencapai tujuan tersebut perlu menetapkan azas- azas dan dasar-dasar pokok mengenai pengusahaan dan penyelenggaraan angkutan laut dengan memperhatikan peningkatan efisiensi kerja dari pada aparatur angkutan laut serta segala kegiatan usaha yang bersifat menunjang kegiatan angkutan laut;

Mengingat:
1.   Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945;
2.   Ketetapan M.P.R.S. No. XXIII/MPRS/1966;
3.   Undang-undang Pelayaran Indonesia tahun 1936 (L.N. 1936 No. 700); 

MEMUTUSKAN:

     Dengan mencabut Peraturan Pemerintah No. 5 tahun 1964 (Lembaran-Negara No. 14 tahun 1964);
     Menetapkan: Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut.

BAB  I.

KETENTUAN-KETENTUAN UMUM.

Pasal 1.
     Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
     Kapal Niaga Indonesia: kapal-kapal niaga yang dimiliki oleh warga negara Indonesia dan berbendera Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
     Per-veem-an: usaha yang ditujukan pada penampungan dan penumpukan barang-barang (warehousing) yang dilakukan dengan mengusahakan gudang-gudang, lapangan-lapangan, dimana dikerjakan dan disiapkan barang-barang yang diterima dari kapal untuk peredaran selanjutnya atau disiapkan untuk diserahkan kepada perusahaan pelayaran untuk dikapalkan, yang meliputi antara lain kegiatan: ekspedisi muatan, pengepakan, pengepakan kembali, sortasi, penyimpanan, pengukuran, penandaan dan lain-lain pekerjaan yang bersifat teknis ekonomis yang diperlukan perdagangan dan pelayaran;
     Ekspedisi Muatan Kapal Laut: usaha yang ditujukan kepada pengurusan dokumen-dokumen dan pekerjaan yang menyangkut penerimaan/penyerahan muatan yang diangkut melalui lautan untuk diserahkan kepada/diterima dari perusahaan pelayaran untuk kepentingan pemilik barang;
     Perwakilan Perusahaan Pelayaran: usaha mewakili perusahaan pelayaran yang ditujukan untuk melayani kapal-kapal;
     Gudang Laut: gudang di pelabuhan yang berada di bawah pengawasan bea cukai yang digunakan sebagai gudang transit bagi lalu-lintas barang yang akan dimuat ke- dan dari kapal;
     Pelabuhan Laut dan Pelabuhan Pantai: adalah pelabuhan sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Pelayaran Indonesia tahun 1936 dan Peraturan Perundang-undangan lainnya;
     Menteri: Menteri Perhubungan.

Pasal 2.
     (1) Kapal niaga Indonesia merupakan sarana pemberi jasa angkutan laut yang ditujukan untuk membina kesatuan ekonomi negara kepulauan Indonesia serta melayani dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
     (2) Pemberian jasa angkutan laut dilakukan melalui suatu sistim pelayaran tetap dan teratur yang dilengkapi dengan pelayaran tidak tetap untuk menjamin kontinuitas arus barang.

Pasal 3.

     (1) Pemerintah menetapkan kebijaksanaan yang berlandaskan kepentingan umum dan melindungi perkembangan armada kapal niaga Indonesia dengan memperhatikan kelaziman-kelaziman internasional.
     (2) Untuk pelaksanaan ayat 1 Menteri menetapkan kebijaksanaan dengan memperhitungkan kemajuan, perkembangan dan perluasan armada kapal niaga Indonesia guna menserasikan kebutuhan perdagangan dalam dan luar negeri dengan memperhatikan kemampuan masyarakat.

Pasal 4.
     Pengusahaan pelayaran, per-veem-an dan ekspedisi muatan kapal laut diselenggarakan atas dasar kepentingan umum agar terjamin penyelenggaraan pengapalan dan pembongkaran barang- barang dalam rangka kegiatan angkutan laut serta penggunaan fasilitas-fasilitas pelabuhan secara effisien.

Pasal 5.
     Pelayaran terdiri atas:
1.   Pelayaran dalam negeri yang meliputi:
     a)   Pelayaran Nusantara, yaitu pelayaran untuk melakukan usaha pengangkutan antar pelabuhan Indonesia tanpa memandang jurusan yang ditempuh satu dan lain sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
     b)   Pelayaran Lokal, yaitu pelayaran untuk melakukan usaha pengangkutan antar pelabuhan Indonesia yang ditujukan untuk menunjang kegiatan pelayaran nusantara dan pelayaran luar negeri dengan mempergunakan kapal-kapal yang berukuran 500 m3 isi kotor ke bawah atau sama dengan 175 BRT ke bawah;
     c)   Pelayaran Rakyat, yaitu pelayaran Nusantara dengan menggunakan perahu-perahu layar;
     d)   Pelayaran Pedalaman, terusan dan sungai, yaitu pelayaran untuk melakukan usaha pengangkutan di perairan pedalaman, terusan dan sungai;
     e)   Pelayaran Penundaan Laut, yaitu pelayaran nusantara dengan menggunakan tongkang-tongkang yang ditarik oleh kapal-kapal tunda.
2.   Pelayaran luar negeri, yang meliputi:
     a)   Pelayaran Samudera Dekat, yaitu pelayaran ke pelabuhan- pelabuhan negara tetangga yang tidak melebihi jarak 3.000 mil laut dari pelabuhan terluar Indonesia, tanpa memandang jurusan;
     b)   Pelayaran Samudera, yaitu pelayaran ke- dan dari luar negeri yang bukan merupakan pelayaran samudera dekat.
3.   Pelayaran khusus, yaitu pelayaran dalam dan luar negeri dengan menggunakan kapal-kapal pengangkut khusus untuk pengangkutan hasil industri, pertambangan dan hasil-hasil usaha lainnya yang bersifat khusus, seperti minyak bumi, batu-bara, biji besi, biji nikkel, timah bauxiet, logs dan barang- barang bulk lainnya.

Pasal 6.
(1)  Penyelenggaraan pelayaran dalam negeri, pelayaran luar negeri dan pelayaran khusus oleh perusahaan-perusahaan pelayaran Indonesia dilakukan dengan kapal-kapal berbendera Indonesia.
(2)  Dalam hal terdapat kekurangan ruang kapal, maka dapat dipergunakan kapal-kapal berbendera negara sahabat atas dasar sewa untuk jangka waktu atau perjalanan tertentu ataupun berdasarkan perjanjian lainnya.
(3)  Penyelenggaraan pelayaran dalam negeri, pelayaran luar negeri dan pelayaran khusus oleh perusahaan pelayaran Indonesia, sebagaimana termaksud dalam ayat 1 dan 2 harus memenuhi persyaratan teknis yang berlaku di bidang keamanan dan keselamatan pelayaran.

Pasal 7.
     Pembukaan pelabuhan-pelabuhan pantai untuk perdagangan luar negeri oleh kapal-kapal berbendera negara sahabat termaksud pasal 2 ayat (3) Undang-undang Pelayaran Indonesia tahun 1936 dilakukan oleh Menteri dengan persetujuan Menteri Keuangan setelah mendengar Menteri Perdagangan.

Pasal 8.
     (1)  Perusahaan-perusahaan Pelayaran Asing yang mengusahakan pelayaran tetap ke- dan dari pelabuhan Indonesia dengan kapal-kapal berbendera negara sahabat harus mendapat izin dari Menteri atau pejabat yang ditunjuknya dengan mendaftarkan nama kapal-kapal yang dioperasikannya untuk itu, beserta schedule perjalanan kapal tersebut untuk selama satu tahun.
     (2)  Kapal-kapal berbendera negara sahabat yang menyelenggarakan angkutan laut secara tidak tetap ke- dan dari pelabuhan Indonesia diharuskan mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuknya dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuknya.
     (3)  Ketentuan dalam ayat (1) dan (2) pasal ini dilaksanakan dengan memperhatikan tersedia tidaknya ruangan kapal niaga nasional.

Pasal 9.
     (1)  Penyelenggaraan pelayaran nusantara dilakukan oleh kapal-kapal berbendera Indonesia sesuai dengan perundang- undangan yang berlaku.
     (2)  Kelonggaran syarat bendera untuk melakukan pelayaran nusantara oleh kapal-kapal berbendera negara sahabat termaksud pasal 3 ayat (3) Undang-undang Pelayaran Indonesia tahun 1936 diberikan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuknya.
     (3)  Persetujuan tersebut diberikan untuk jangka waktu tertentu, atau untuk satu atau beberapa perjalanan bagi pengangkutan penumpang dan atau barang.

Pasal 10.
     (1)  Penyelenggaraan pelayaran nusantara dibina untuk diarahkan kepada usaha untuk terjaminnya penyelenggaraan angkutan laut di seluruh kepulauan Indonesia secara tetap dan teratur.
     (2)  Untuk menyelenggarakan ketentuan ayat (1) dan pasal 2 ayat (2), Menteri atau pejabat yang ditunjuknya menetapkan pola trayek angkutan laut dalam negeri serta pedoman penyelenggaraan angkutan laut ke luar negeri.
     (3)  Guna memenuhi kebutuhan angkutan laut yang teratur dan merata ke seluruh bagian wilayah Indonesia, maka setiap perusahaan pelayaran nasional dapat diwajibkan untuk melayari satu dan beberapa trayek tertentu.
     (4)  Dalam rangka pelaksanaan ketentuan ayat (1) dan ayat (3) pasal ini, Menteri atau pejabat yang ditunjuknya dapat menetapkan bahwa penyelenggaraan pelayaran dilakukan dalam bentuk gabungan atau kesatuan operasionil.
     (5)  Pengarahan serta pedoman umum penyelenggaraan pelayaran tetap ke seluruh bagian wilayah Indonesia, serta pelayaran ke- dan dari luar negeri seperti yang dimaksud dalam pasal ini ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuknya.

Pasal 11.
     (1)  Penyelenggaraan pelayaran samudera dekat dan pelayaran samudera dalam angka peningkatan ekspor dan perkembangan ekonomi nasional pada umumnya dibina untuk diarahkan agar memperoleh bagian yang wajar dari volume muatan dalam lalu-lintas perdagangan luar negeri Indonesia.
     (2)  Penyelenggaraan pelayaran samudera dekat dan pelayaran samudera sejauh mungkin didasarkan pada penyelenggaraan pelayaran tetap dan teratur.

Pasal 12.
     (1)  Gudang laut berfungsi sebagai gudang transit bagi lalu- lintas barang di pelabuhan dan penyelenggaraannya diarahkan untuk mempercepat arus barang serta mempercepat keberangkatan kapal.
     (2)  Dalam rangka ketentuan ayat (1) pasal ini gudang laut diusahakan oleh perusahaan pelayaran atas dasar ketentuan yang berlaku mengenai penggunaan/pengusahaan gudang laut. berlaku mengenai penggunaan/pengusahaan gudang laut.
     (3)  Menteri atau pejabat yang ditunjuknya menentukan syarat-syarat yang berhubungan dengan pelaksanaan ayat (2) pasal ini.

                           Pasal 13.
     (1)  Pengusahaan pelayaran dalam negeri, luar negeri, per-veem-an dan ekspedisi muatan kapal laut hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin usaha sesuai ketentuan-ketentuan dalam peraturan ini.
     (2)  Perizinan termaksud ayat (1) pasal ini diselenggarakan berdasarkan azas-azas pertimbangan:
     a.adanya pola trayek angkutan yang ditetapkan dan tersedianya barang-barang untuk diangkut;
     b.kelancaran arus barang secara tetap dalam rangka trayek angkutan ke seluruh wilayah;
     c.adanya pengawasan terhadap arus barang yang berencana dan pengawasan gerak kapal yang kontinu;
     d.tersedianya fasilitas-fasilitas dermaga, tambatan, pergudangan dan penimbunan di suatu pelabuhan,
     e.memajukan perkembangan perdagangan dan sosial-ekonomi nasional;
     f.meningkatkan keahlian pengusahaan;
     g.adanya penggunaan dan pengerahan modal;
     h.ketenteraman serta kegairahan kerja dalam perusahaan;
     i.digunakannya keuntungan sejauh mungkin untuk investasi, memajukan dan memperkembangkan daya kemampuan usaha dan kesejahteraan pada buruh/pegawai.

                           Pasal 14.
     (1)  Perusahaan pelayaran bertanggung-jawab sebagai pengangkut barang kepada pemilik barang sejak saat menerima barang dari pengirim sampai saat menyerahkan barang yang diangkutnya kepada penerima sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku atau syarat-syarat perjanjian pengangkutan atau kelaziman-kelaziman yang berlaku dalam bidang pelayaran.
     (2)  Dalam hal sesuatu perusahaan pelayaran menguasai gudang laut seperti dimaksud dalam pasal 12 ayat (2) dan (3), perusahaan pelayaran yang bersangkutan bertanggung-jawab atas kehilangan dan atau kerusakan barang selama barang-barang tersebut berada dalam gudang laut.

                           BAB  II.

PELAYARAN DALAM NEGERI. Pealayaran Nusantara.

Pasal 15.
     (1)Izin pengusahaan pelayaran nusantara dikeluarkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuknya.
     (2)Untuk mendapatkan izin pengusahaan pelayaran nusan=tara harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.i.merupakan perusahaan pelayaran milik Negara atau
     ii.merupakan perusahaan milik Daerah sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku atau
     iii.merupakan badan hukum berbentuk perseroan terbatas, menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
b.memiliki satuan kapal lebih dari satu unit dengan jumlah minimal 3.000 m3 isi kotor dengan memperhatikan syarat- syarat teknis/nautis dan perhitungan untung rugi;
c.tersedianya modal kerja yang cukup untuk kelancaran usaha atas dasar norma-norma ekonomi perusahaan;
d.melaksanakan kebijaksanaan umum Pemerintah di bidang penyelenggaraan angkutan laut nusantara.
(3)Hal-hal lain mengenai persyaratan pelayaran nusantara ditetapkan oleh pejabat yang ditunjuk untuk itu.

                           Pasal 16.
     Perusahaan pelayaran nusantara yang telah mendapatkan izin menurut pasal 15 wajib melaksanakan ketentuan-ketentuan tersebut di bawah ini :
a.melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam surat izin;
b.mengumumkan kepada umum peraturan perjalanan kapal, tarif dan syarat-syarat pengangkutan;
c.menerima pengangkutan penumpang, barang, khewan dan pos, satu dan lain sesuai dengan persyaratan teknis kapal;
d.memberikan prioritas pengangkutan kepada barang-barang sandang-pangan, bahan-bahan industri dan ekspor;
e.memberitahukan pada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri tarif pengangkutan yang dipergunakan, manifest dan keanggotaan conference atau bentuk kerjasama lainnya serta informasi-informasi lainnya yang dianggap perlu;
f.hal-hal lain yang ditentukan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuknya.

                           Pasal 17.
     Menteri atau pejabat yang ditunjuknya dapat mengijinkan penyelenggaraan pengangkutan tidak tetap oleh perusahaan pelayaran nusantara dalam hal ada keperluan pengangkutan yang mendesak atau yang bersifat khusus.

                           Pasal 18.
     Izin pengusahaan pelayaran nusantara dicabut oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuknya atas pertimbangan-pertimbangan tersebut di bawah ini:
     a.tidak menjalankan usaha dengan nyata dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuknya setelah memperoleh izin;
     b.tidak memberikan jasa-jasa pengangkutan sesuai dengan yang disyaratkan atau yang diwajibkan kepada pemegang izin;
     c.tidak memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai yang disyaratkan dalam surat izin;
     d.keadaan perusahaan tidak memungkinkan kelangsungan usahanya secara wajar;
     e.perusahaan jatuh pailit;
     f.perusahaan dihukum karena suatu tindak pidana ekonomi;
     g.cara yang tidak dibenarkan dalam memperoleh izin.

Pelayaran lokal, pelayaran rakyat, pelayaran penundaan laut, pelayaran pedalaman, terusan dan sungai.

                           Pasal 19.
     Ketentuan-ketentuan tentang penyelenggaraan pelayaran lokal, pelayaran rakyat, pelayaran penundaan laut, pelayaran pedalaman, terusan dan sungai akan diatur lebih lanjut oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuknya.

                           BAB  III.

       PELAYARAN LUAR NEGERI. Pelayaran Samudera Dekat.

                           Pasal 20.
(1)Izin penyelenggaraan pelayaran samudera dekat diberikan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuknya.
(2)Untuk mendapatkan izin penyelenggaraan pelayaran samudera dekat harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.merupakan perusahaan pelayaran nusantara atau perusahaan pelayaran samudera yang memiliki izin usaha berdasarkan peraturan ini;
b.memiliki kapal-kapal yang memenuhi syarat nautis teknis seperti termaksud padal 5 (b);
c.adanya kebutuhan angkutan yang nyata;
d.melaksanakan kebijaksanaan umum Pemerintah di bidang penyelenggaraan pelayaran samudera dekat.
(3)Hal-hal lain mengenai persyaratan pelayaran samudera dekat ditetapkan oleh pejabat yang ditunjuk untuk itu.

                      Pelayaran Samudera.

                           Pasal 21.
     (1)  Izin pengusahaan pelayaran samudera dilakukan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuknya.
     (2)  Untuk mendapatkan izin pengusahaan pelayaran samudera harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.i. merupakan perusahaan pelayaran milik Negara atau
     ii. merupakan perusahaan milik Daerah menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku atau
     iii.merupakan badan hukum berbentuk perseroan terbatas, sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
b.memiliki satuan kapal lebih dari satu unit dengan jumlah minimal 28.000 m3 (10.000 BRT) isi kotor dengan memperhatikan syarat-syarat nautis/teknis dan perhitungan untung-rugi;
c.tersedianya modal kerja yang cukup untuk kelancaran usaha yang bersangkutan atas dasar norma-norma ekonomi perusahaan;
d.melaksanakan kebijaksanaan umum Pemerintah di bidang penyelenggaraan pelayaran luar negeri.
     (3)  Hal-hal lain mengenai persyaratan pelayaran luar negeri ditetapkan oleh pejabat yang ditunjuk untuk itu.

                           Pasal 22.
     Perusahaan pelayaran yang mendapat izin penyelenggaraan pelayaran samudera dekat menurut pasal 20, dan perusahaan pelayaran samudera yang telah mendapatkan izin usaha menurut pasal 21 wajib melaksanakan ketentuan-ketentuan tersebut di bawah ini:
a.melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam surat izin:
b.mengumumkan kepada umum peraturan perjalanan kapal dan tarif pengangkutan;
c.menerima pengangkutan penumpang, barang, hewan dan pos, satu dan lain sesuai dengan persyaratan teknis kapal;
d.memberitahukan pada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri tarif pengangkutan yang dipergunakan, manifest dan keanggotaan conferences atau bentuk kerjasama lainnya serta bahan-bahan informasi lainnya yang dianggap perlu;
e.hal-hal lain yang ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuknya.

                           Pasal 23.
     Izin penyelenggaraan pelayaran samudera dekat dan izin pengusahaan pelayaran samudera dicabut oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuknya atas pertimbangan-pertimbangan tersebut dibawah ini:
a.tidak menjalankan usaha dengan nyata dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuknya setelah memperoleh izin;
b.tidak memberikan jasa-jasa pengangkutan dan lain-lain sesuai dengan yang disyaratkan atau diwajibkan kepada pemegang izin;
c.tidak memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai disyaratkan dalam surat izin;
d.keadaan perusahaan tidak memungkinkan kelangsungan usahanya secara wajar;
e.perusahaan jatuh pailit;
f.pengurus perusahaan dihukum karena suatu tindak pidana ekonomi;
g.cara yang tidak dibenarkan dalam memperoleh izin.

                           Pasal 24.
     Untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan pelajaran luar negeri Indonesia, dapat diadakan kerjasama dengan luar negeri atas dasar ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

                           BAB  IV.
                       PELAJARAN KHUSUS
                           Pasal 25.
Ketentuan-ketentuan tentang penyelenggaraan pelajaran khusus akan diatur lebih lanjut oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuknya.

                            BAB  V.
               PERWAKILAN PERUSAHAAN PELAJARAN.

                           Pasal 26.
     (1)  Kapal-kapal asing yang berlayar ke/dari pelabuhan Indonesia harus menunjuk perusahaan pelayaran nusantara atau perusahaan pelayaran samudera nasional sebagai wakilnya yang bertindak sebagai agen umum.
     (2)  Agen umum kapal asing harus mendaftarkan kepada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri atau oleh pejabat yang ditunjuknya, tarif pengangkutan yang dipergunakan, manifest dan keanggotaan conference atau bentuk kerjasama lainnya serta hal-hal lain yang disyaratkan oleh Menteri atau oleh pejabat yang ditunjuknya.

                           Pasal 27.
     (1)  Pemilik perusahaan pelayaran asing dapat menunjuk wakilnya di Indonesia.
     (2)  Wakil pemilik perusahaan pelayaran asing termaksud ayat 1 pasal ini harus mendaftarkan pada pejabat yang ditunjuknya oleh Menteri.
     (3)  Wakil pemilik perusahaan pelayaran asing harus menyerahkan segala pekerjaan bongkar muat, dan pekerjaan pelayanan kapal-kapalnya kepada perusahaan pelayaran nasional.

BAB  VI.
PER-VEEM-AN.
Pasal 28.
     (1)  Ketentuan-ketentuan tentang persyaratan usaha per-veem-an dan prosedur memperoleh izin ditetapkan oleh Menteri Perdagangan.
     (2)  Izin usaha per-veem-an dalam wilayah pelabuhan dikeluarkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuknya.

                           Pasal 29.
     Perusahaan per-veem-an yang telah mendapatkan izin menurut
pasal 28 wajib melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a.melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan dan izin usaha;
b.ikut aktif mendorong proses arus barang.

                           Pasal 30.
     Izin usaha per-veem-an dicabut oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuknya atas pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
a.tidak melaksanakan ketentuan tentang persyaratan usaha per- veem-an sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 ayat (i);
b.tidak menjalankan usaha dengan nyata dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuknya setelah memperoleh izin;
c.tidak memberikan jasa-jasa dan lain-lain sesuai dengan yang disyaratkan atau yang diwajibkan kepada pemegang izin;
d.tidak memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai yang disyaratkan dalam surat izin;
e.keadaan perusahaan tidak memungkinkan kelangsungan usahanya secara wajar;
f.perusahaan jatuh pailit;
g.perusahaan dihukum karena suatu tindak pidana ekonomi;
h.cara yang tidak dibenarkan dalam memperoleh izin.

                           Pasal 31.
     Untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan per-veem- an dapat diadakan kerjasama dengan luar negeri atas dasar ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

                           BAB  VII.
EKSPEDISI MUATAN KAPAL LAUT.
Pasal 32.
     (1)Izin penyelenggaraan dan pengusahaan Ekspedisi Muatan Kapal Laut diberikan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuknya.     (2)Izin Penyelenggaraan dan Pengusahaan Ekspedisi Muatan Kapal Laut dapat diberikan kepada:
a.perusahaan pelayaran atau perusahaan per-veem-an yang memiliki izin usaha berdasarkan peraturan ini;
b.perusahaan-perusahaan milik Warga Negara Indonesia yang memiliki izin impor/ekspor, perusahaan perdagangan antar pulau berdasarkan rekomendasi dari Menteri Perdagangan.
     (3)  Untuk mendapatkan izin Penyelenggaraan dan Pengusahaan Ekspedisi Muatan Kapal Laut harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.memiliki cukup keahlian;
b.tersedianya fasilitas dari alat-alat kerja;
c.modal kerja yang dipandang cukup untuk kelancaran usaha atas norma-norma Ekonomi Perusahaan.
     (4)  Hal-hal lain mengenai persyaratan penyelenggaraan dan pengusahaan ekspedisi muatan kapal laut ditetapkan oleh pejabat yang ditunjuk untuk itu.

                           Pasal 33.
     Kegiatan dari perusahaan ekspedisi muatan kapal laut yang telah mendapatkan izin menurut pasal 32 wajib:
a.melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam izin;
b.ikut aktif mendorong proses arus barang.

                           Pasal 34.
Izin penyelenggaraan dan pengusahaan ekspedisi muatan kapal laut dicabut oleh Menteri atas pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
a.tidak menjalankan kegiatan/usaha dengan nyata dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh Menteri setelah memperoleh izin;
b.tidak memberikan jasa sesuai dengan yang disyaratkan atau yang diwajibkan kepada pemegang izin;
c.tidak memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai yang disyaratkan dalam surat izin;
d.keadaan perusahaan tidak memungkinkan kelangsungan usahanya secara wajar;
e.perusahaan jatuh pailit;
f.perusahaan dihukum karena suatu tindak pidana ekonomi;
g.cara yang tidak dibenarkan dalam memperoleh izin.

                          BAB  VIII.
PROSEDUR PERIZINAN.

Pasal 35.
     (1)Ketentuan-ketentuan tentang cara mengajukan izin, bentuk izin, pemberian dan pencabutan izin diatur oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuknya.
     (2)  Untuk mengganti biaya yang bersangkutan dengan pelaksanaan peraturan ini dan peraturan-peraturan pelaksanaannya, yang berkepentingan dikenakan biaya administrasi yang cara pemungutannya serta jumlahnya ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuknya.

                           BAB  IX.
KETENTUAN-KETENTUAN PERALIHAN.

Pasal 36.
     (1)  Ketentuan-ketentuan pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 5 tahun 1964 yang berlaku pada waktu ditetapkan Peraturan Pemerintah ini, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan ini sampai diadakan pencabutan, perubahan, penambahan atau penyesuaian menurut dan berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini.
     (2)  Perusahaan pelayaran dan perusahaan ekspedisi muatan kapal laut yang memiliki izin usaha berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 5 tahun 1964 dapat melanjutkan usahanya sampai waktu yang ditentukan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk olehnya untuk penyesuaian dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini.

                            BAB  X.
                      KETENTUAN PENUTUP.

                           Pasal 37.
     Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, akan ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.

                           Pasal 38.
     Peraturan Pemerintah ini dapat disebut Peraturan Angkutan Laut.

                           Pasal 39.
     Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada hari ditetapkan.
     Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini, dengan penempatannya dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.

                             Ditetapkan di Jakarta
                             pada tanggal 18 Januari 1969.
                             Presiden Republik Indonesia,

                                  SOEHARTO.
                                  Jenderal TNI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 18 Januari 1969.
Sekretaris Negara Republik Indonesia,

ALAMSJAH.
Mayor Jenderal TNI 

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 1969

TENTANG

PENYELENGGARAAN DAN PENGUSAHAAN
ANGKUTAN LAUT.

     UMUM:

     Peraturan Pemerintah ini merupakan penyempurnaan terhadap Kebijaksanaan Pemerintah dibidang angkutan laut yang ditujukan untuk mengsukseskan usaha menciptakan stabilisasi politik dan ekonomi sebagai syarat untuk berhasilnya pelaksanaan rencana pembangunan.
     Penyempurnaan tersebut terutama meliputi hal-hal sebagai berikut:

a.menyesuaikan pembinaan penyelenggaraan dan pengusahaan angkutan laut dengan jiwa ketetapan M.P.R.S. No. XXIII/ MPRS/1966;

b.menegaskan pentingnya pelayaran tetap dan teratur guna melayani dan mendorong perkembangan perdagangan dan pertumbuhan ekonomi nasional;

c.menyesuaikan penggunaan kapal-kapal dalam menyelenggarakan pelayaran dengan ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan nautis/tehnis;

d.menghidupkan kembali kegiatan per-veem-an sebagai salah satu unsur penunjang kegiatan ankutan laut;

e.menegaskan peranan pembinaan oleh Pemerintah yang ditujukan kepada pengarahan dan perlindungan seperlunya terhadap armada kapal-kapal niaga Indonesia.

     Adapun pokok-pokok kebijaksanaan tersebut meliputi hal-hal  sebagai berikut:                                              berikut:
     I.   Azas pokok:
     Penyelenggaraan angkutan laut ditujukan untuk membina kesatuan ekonomi negara kepulauan Indonesia serta melayani dan mendorong ekonomi nasional.

     II.  Pelayaran dalam negeri:

          1.Penyelenggaraan pelayaran dalam negeri diatur berdasarkan pola pembinaan wawasan Nusantara, dengan cara penyelenggaraan suatu pelayaran nusantara yang tetap dan teratur diseluruh Tanah Air Indonesia.

          2.Penyelenggaraan pelayaran nusantara yang tetap dan teratur tersebut ditingkatkan selaras dengan tahap peningkatan pola perdagangan yang mempunyait pusat-pusat perdagangan (trade Centre) yang tersebar diseluruh Nusantara dan yang merupakan pusat-pusat akumulasi hasil daerah dan pusat-pusat de-alokasi (distribusi) muatan kedaerah-daerah yang bersangkutan.

          3.Pelayaran nusantara yang tetap dan teratur tersebut ditunjang oleh pengaturan secara terarah oleh penyelenggaraan pelayaran lokal, pelayaran rakyat, pelayaran penundaan laut, pelayaran perairan pedalaman/terusan-terusan dan sungai.

          4.Penyelenggaraan pelayaran nusantara yang tetap dan teratur tersebut dapat diarahkan kepada usatu cara penyelenggaraan pelayaran dalam bentuk gabungan atau kesatuan operasionil yang terorganisir secara efektif serta ifisien agar dapat terbina suatu liner-service yang mantap dan menyeluruh diseluruh Nusantara. Untuk sekaligus agar dapat diatasi dan ditertibkan, secara efektif kondisi riil yang ada.

          5.Untuk menunjang adanya pusat-pusat perdagangan (trade centre) tersebut sebagai pusat-pusat jaringan trayek-trayek yang tetap dan teratur dari pelayaran, maka perlu didorong kegiatan-kegiatan akumulasi dan transhimpment kriteria penentuan pelabuhan serta klasifikasinya.

     III.Pelayaran luar negeri:

     Penyelenggaraan pelayaran luar negeri yang meliputi pelayaran samudera dekat dan pelayaran samudera dibina agar dalam rangka usaha Pemerintah meningkatkan ekspor dan kegiatan ekonomi pada umumnya diperoleh saham (share) yang wajar oleh Indonesia dalam lalu-lintas muatan internasional ke dan dari Tanah Air. Dengan demikian hal tersebut dapat meningkatkan beban pada neraca perdagangan/pembayaran Indonesia, satu dan lain dengan tetap mengindahkan kemampuan-kemampuan yang riil serta effisiensi perusahaan dan service.
     Pada prinsipnya penyelenggaraan pelayaran luar negeri dilandaskan pada sistim pelayaran secara tetap dan teratur (linersystem).

     IV.  Ekspedisi muatan kapal laut dan per-veem-an:

     Untuk kelancaran angkutan laut yang tertib dan teratur maka kegiatan-kegiatan ekspedisi muatan kapal laut dan per-veem-an dipelabuhan-pelabuhan itu sendiri harus ditingkatkan sebagai unsur-unsur penunjang yang utama, dimana dalam peraturan ini ditegaskan kembali fungsi dan kedudukan kegiatan per-veem-an dan ekspedisi muatan kapal laut.

     V.   Peranan Pemerintah dan Market Forces:

     Kegiatan-kegiatan market force secara wajar dan tertib akan terus dikembangkan dan dibina dalam Bidang angkutan laut berdasarkan demokrasi ekonomi yang sehat dan tertib ekonomi yang mantap dengan pengarahan dan perlindungan seperlunya oleh Pemerintah.

     Dalam Peraturan Pemerintah ini pokok-pokok kebijaksanaan tersebut diatur secara terperinci dan masih akan dilengkapi dengan peraturan-peraturan pelaksanaan lebih lanjut.

     PENJELASAN PASAL DEMI PASAL:

Pasal 1.

     Pasal ini merupakan penegasan tentang pengertian-pengertian pokok dibidang angkutan laut dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan umum dalam perundang-undangan serta kelaziman-kelaziman.

Pasal 2.

     Pasal ini menegaskan fungsi angkutan laut bagi negara kepulauan Indonesia, bahwa angkutan laut merupakan untuk membina kesatuan ekonomi negara, dan oleh karena itu pada hakekatnya angkutan laut tidak saja melayani tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Fungsi yang demikian itu haruslah didasarkan pada tersedianya angkutan laut secara tetap dan teratur yang dapat menjamin, terpenuhinya kebutuhan angkutan secara kontinu dan terjaminnya tingkat freight yang ekonomis dan stabil. Di samping itu harus pula dapat ditampung kebutuhan angkutan wewaktu-waktu dengan pelayaran tidak tetap.

Pasal 3.

     Sudah sewajarnya tindakan-tindakan Pemerintah diarahkan untuk membina serta melindungi perkembangan armada kapal niaga nasional.
     Oleh karena itu pembinaan pelayaran nasional harus diarahkan kepada pembangunan dan penyediaan armada yang sesuai dan mencukupi serta mengusahakan agar dapat menguasai muatan semaksimal mungkin.
     Pasal ini pada hakekatnya merupakan landasan bagi kebijaksanaan Pemerintah selanjutnya dalam membina perkembangan armada nasional.

Pasal 4.

     Terselenggaranya fungsi angkutan laut dengan sebaik-baiknya tidak terlepas pula dari adanya kegiatan usaha yang bersifat menunjang kegiatan angkutan alut, seperti per-veem-an, ekspedisi muatan kapal laut dan lain sebagainya.

Pasal 5.

     Dalam pasal ini diadakan penggolongan usaha pelayaran yang meliputi pelayaran dalam negeri, pelayaran luar negeri dan pelayaran khusus.

     Pelayaran dalam negeri adalah segala jenis usaha pelayaran yang diselenggarakan antar pelabuhan Indonesia.
     Pelayaran nusantara dititik-beratkan pada usaha pengangkutan antar pelabuhan Indonesia tanpa memandang jurusan yang ditempuh, sehingga misalnya pelayaran dari pelabuhan Indonesia kepelabuhan-pelabuhan Indonesia lainnya dengan menyinggahi Singapura dan pelabuhan-pelabuhan Malaysia termasuk juga pelayaran nusantara.
     Penyelenggaraan pelayaran lokal yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan angkutan daerah diarahkan untuk berfungsi sebagai kapal-kapal feeder guna menunjang terselenggranya pelayaran tetap dan teratur dibidang pelayaran nusantara. Dengan memperhatikan aspek keseimbangan usaha dan aspek teknis perkapalan maka kapal-kapal yang dipergunakan bagi pelayaran lokal adalah kapal-kapal yang berukuran 500 m3 isi kotor kebawah atau sama dengan 175 BRT ke bawah.

     Penyelenggaraan pelayaran lokal tersebut ditujukan terutama sebagai "feeders" bagi kapal-kapal pelayaran nusantara dan pelayaran luar negeri. Sesuai dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan tentang syarat-syarat nautis/eknis maka pada hakekatnya yang dapat melakukan pelayaran lokal seperti yang dimaksud adalah kapal-kapal yang berujuran 500 m3 isi kotor ke bawah atau sama dengan 175 BRT ke bawah.

     Pelayaran rakyat yang sebagian besar terdiri dari perahu-perahu layar telah merupakan potensi yang nyata dan menjalankan peranan penting dalam bidang angkutan laut. Oleh karena sifat tradisionil yang dimilikinya maka perkembangannya perlu diselenggarakan pertama-tama oleh pengusaha pelayaran yang bersangkutan.
     Pelayaran penundaan laut telah menunjukkan perkembangan yang nyata, oleh karenanya perlu diadakan pengarahan yang lebih poisitf agar benar-benar dapat menunjang secara riil kegiatan pelayaran nusantara baik dalam fungsi akumulasi maupun distribusi ataupun untuk mengatasi kebutuhan angkutan sewaktu-waktu.

     Pelayaran samudera dekat merupakan suatu usaha pelayaran luar negeri dengan pembatasan jarak tempuh tidak melebihi 3.000 mil laut dari pelabuhan terluar Indonesia. Jarak tersebut ditetapkan dengan memperhitungkan persyaratan keamanan dan keselamatan pelayaran sesuai perundang-undangan yang berlaku, serta diproyeksikan pula pada perkembangan pardagangan dan perekonomian Indonesia dengan negara-negara tetangga.

     Dengan jarak 3.000 mil laut tersebut maka pelayaran samudera dekat dapat mencapai negara-negara: Muang Thai, Kamboja, India, Pakistan, Hongkong, Philipina, Jepang dan Australia.
     Selanjutnya di samping pelayaran samudera dekat sebagai suatu usaha tersendiri dikenal pula pelayaran samudera dengan kapal-kapal besar dan jarak tak terbatas tetap memenuhi persyaratan keamanan dan keselamatan pelayaran sesuai perundang-undangan yang berlaku.
     Pelayaran khusus merupakan pelayaran dalam atau luar negeri dengan menggunakan kapal khusus untuk pengangkutan barang-barang bulk.

Pasal 6.

     Pada prinsipnya penyelenggaraan pelayaran baik dalam dan luar negeri oleh perusahaan-perusahaan pelayaran Indonesia harus diselenggarakan oleh kapal-kapal berbendera Indonesia. Dalam hal terjadi kekurangan ruang kapal, dapat dilakukan penggunaan kapal-kapal bukan berbendera Indonesia atas dasar sewa (charter) ataupun perjanjian lainnya, satu dan lain dengan memperhatikan persyaratan teknis, keamanan dan keselamatan pelayaran sesuai perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 7.

     Cukup jelas.

Pasal 8

     Pertimbangan tentang tersedia atau tidaknya ruangan kapal niaga Indonesia akan diperhatikan secara lebih khusus dalam hal izin-izin kepada kapal-kapal berbendera negara sahabat yang tidak melakukan pelayaran tetap.

Pasal 9.

     Pasal ini hakekatnya menegaskan berlakunya azas kabotase dalam pelayaran nusantara yang merupakan kelaziman di dunia internasional, hal mana berarti bahwa penyelenggaraan pelayaran nusantara hanya dapat dilakukan oleh kapal-kapal yang berbendera Indonesia.

Pasal 10.

     Untuk menjamin terselenggaranya angkutan laut di seluruh kepulauan Indonesia sebagai suatu sistim jaring-jaring angkutan yang dapat melayani perdagangan dan mendorong perkembangan ekonomi nasional maka penyelenggaraan pelayaran nusantara harus didasarkan pada sistim pelayaran tetap dan teratur. Penyelenggaraan pelayaran tetap dan teratur tersebut perlu didasarkan pada suatu pola trayek angkutan laut yang mencerminkan pola perdagangan dan arah perkembangan ekonomi negara kepulauan Indonesia.
     Sedangkan bagi penyelenggaraan angkutan ke/dari luar negeri oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk olehnya ditetapkan pedoman yang disesuaikan dengan perkembangan perdagangan luar negeri Indonesia.
     Pola trayek angkutan laut nusantara seperti dimaksud di atas harus menunjukkan pula korelasinya yang jelas dan lancar dengan penyelenggaraan pelayaran lokal dimana kapal-kapal lokal tersebut berfungsi sebagai kapal-kapal feeder dan dengan penyelenggaraan pelayaran luar negeri dalam rangka kelancaran angkutan impor dan ekspor.
     Untuk menjamin terlaksananya angkutan laut secara menyeluruh, terutama dalam mengatasi kebutuhan yang mendesak, kepada perusahan-perusahaan pelayaran dapat diwajibkan untuk melayani suatu atau beberapa trayek pelayaran. Bahkan oleh Pemerintah cq. Menteri atau pejabat yang ditunjuk olehnya dapat ditetapkan bahwa penyelenggaraan pelayaran dilakukan dalam bentuk gabungan atau kesatuan operasioneel.

Pasal 11.

     Dalam rangka usaha peningkatan ekspor dan perkembangan ekonomi nasional pada umumnya, maka peranan angkutan laut ke dan dari luar negeri mempunyai arti yang penting.
     Ketergantungan kepada kapal-kapal asing dalam pengangkutan barang-barang ekspor dan impor dirasakan memberatkan neraca perdagangan/pembayaran luar negeri Indonesia. Oleh karena itu perlulah diadakan pembinaan yang bersifat mendorong pertumbuhan dan perkembangan armada pelayaran luar negeri Indonesia, dengan jalan kapal-kapal niaga Indonesia yang menyelenggarakan pelayaran (fair share) dari volume muatan perdagangan luar negeri Indonesia, satu dan lain dengan tetap memperhatikan kemampuan yang riil serta effisiensi perusahaan dan service.
     Penyelenggaraan pelayaran luar negeri pada dasarnya dilandaskan pada sistim pelayaran tetap dan teratur untuk menjamin tingkat freight yang layak dan stabil serta tersedianya ruangan angkutan secara tetap dan teratur.
     Untuk mengatasi kebutuhan angkutan pelayaran luar negeri yang tidak dapat dipenuhi dengan kapal-kapal liner terutama angkutan barang-barang bulk, dapat dilakukan dengan kapal-kapal yang menyelenggarakan pelayaran tidak tetap.

Pasal 12

     Gudang laut yang berfungsi sebagai gudang transit pada hakekatnya tidak dapat dipisahkan dari pada kegiatan operasioneel perusahaan pelayaran sehubungan dengan pekerjaan bongkar muat dari dan ke atas kapal. Diusahakannya gudang laut oleh perusahaan pelayaran adalah untuk dapat menjamin kelancaran bongkar muat yang dilakukan melalui gudang transit tersebut dan sehubungan dengan kebutuhan kecepatan keberangkatan kapal (quick dispatch).
     Hal ini mengurangi kemungkinan untuk adanya bongkar muat  barang langsung dilambung kapal satu dan lain sesuai dengan syarat-syarat yang berhubungan dengan penggunaan/pengusahaan gudang-gudang laut.
     Walaupun pada dewasa ini gudang-gudang laut dimiliki oleh secara umum sesuai dengan kebutuhan dan kondisi di pelabuhan setempat terbuka kemungkinan bagi usaha pelayaran untuk membangun gudang alut.

Pasal 13.

     Dalam melaksanakan perizinan terhadap usaha angkutan laut dan segala aspeknya Menteri berpedoman pada azas-azas pertimbangan untuk kepentingan nasional dengan selalu memperhatikan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh Pemerintah. Azas tersebut dilaksanakan pula dalam bentuk pengawasan terhadap jalannya usaha.
     Selanjutnya dijadikan pula azas pertimbangan kemampuan investasi, kemampuan untuk mengembangkan usaha dan terjaminnya ketenteraman dan kesenangan kerja segenap tenaga manusia yang merupakan faktor produksi untuk mempertinggi effisiensi.

Pasal 14.

     Penegasan dan penyesuaian tanggung jawab pengangkut kepada  pemilik/penerima barang adalah didasarkan pada ketentuan perundang-undangan, perjanjian-perjanjian pengangkutan atau kelaziman-kelaziman internasional yang berlaku dibidang pelayaran. Penegasan ini diperlukan untuk menghindarkan keragu-raguan tentang tanggung jawab atas barang yang diangkut. Pada pokoknya tanggung-jawab tersebut disesuaikan dengan pekerjaan yang secara nyata atau sesuai dengan dikuasainya barang tersebut secara nyata oleh pihak yang bersangkutan. Sehubungan dengan hal terakhir maka dalam hal sesuatu perusahaan pelayaran mengusahakan gudang laut seperti yang dimaksud dalam pasal 12 ayat (2) dan ayat (3), maka ia bertanggung-jawab atas barang-barang yang berada dalam budang laut yang dikuasainya itu.

Pasal 15.

     Pasal ini menetapkan syarat-syarat tentang izin pengusahaan pelayaran nusantara.
     Penyelengaraan pelayaran nusantara diselenggarakan dengan menggunakan satuan kapal lebih dari 1 (satu) unit dengan jumlah  minimal 3.000 m3 isi kotor atu sama dengan ±1.100 BRT.
     Satuan-satuan kapal yang digunakan dalam pelayaran nusantara harus disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan nautis/teknis. Hal mana berarti bahwa kapal-kapal yang dapat digunakan untuk pelayaran nusantara adalah kapal-kapal yang berukuran di atas 500 m3 isi kotor atau sama dengan di atas 175 BRT.

Pasal 16.

     Cukup jelas.

Pasal 17.

     Atas dasar kebutuhan mendesak akan keperluan pengangkutan yang tidak dapat dilayani oleh kapal-kapal pelayaran tetap misalnya adanya overflow barang, dapat diselenggarakan pengangkutan tidak tetap oleh perusahaan pelayaran nusantara.

Pasal 18.

     Untuk menegakkan pembinaan yang sehat terhadap perkembangan Perusahaan-perusahaan Pelayaran Nasional maka kepada perusahaan pelayaran yang nyata-nyata tidak berhasil melakukan usahanya sebagaimana disyaratkan perlu segera diambil tindakan percabutan izin.

Pasal 19.

     Pada dasarnya penyelenggaraan pelayaran lokal, pelayaran rakyat, pelayaran penundaan laut, pelayaran pedalaman, terusan dan sungai diarahkan untuk menunjang terselenggaranya angkutan laut yang bersifat setempat/daerah dan angkutan laut bagi kepulauan nusantara dimana jenis-jenis pelayaran tersebut terutama berfungsi sebagai peunjang untuk terselenggaranya  pelayaran nusantara dan pelayaran luar negeri secara tetap dan teratur dalam rangka perkembangan perdagangan antara pulau dan perkembangan ekonomi nasional pada umumnya.
     Sifat dan bentuk pembinaan yang perlu diberikan bagi jenis pelayaran tersebut, perlu disesuaikan dengan keadaan setempat dan kebuthan perkembangan usaha yang bersangkutan.

Pasal 20.

     Penyelenggaraan pelayaran samudera dekat sebagai termaksud  pasal 5 ayat 2 (a) pada hakekatnya merupakan pelayaran luar negeri. Berhubung dengan sifat perdagangan Indonesia dengan negara-negara tetangga yang karena konstelasi geografis terjalin erat dengan kegiatan perdagangan antar pulau Indonesia, misalnya Muang Thai, Philipina, Australia dan sebagainya, maka dalam kenyataannya tidak dapat diadakan pembatasan yang tajam antara penyelenggaraan pelayaran nusantara dengan penyelenggaraan pelayaran luar negeri ke dan dari negara-negara tetangga tersebut. Oleh karena itu dipandang wajar apabila terutama syarat-syarat nautis/teknis perkapalan dipenuhi, penyelenggaraan pelayaran samudera dekat dapat pula dipenuhi, penyelenggaraan pelayaran samudera dekat dapat pula dilakukan oleh perusahaan pelayaran nusantara.
     Disamping itu dimungkinkannya perusahaan pelayaran nusantara dapat menyelenggarakan pelayaran samudera dekat akan memudahkan perusahaan pelayaran nusantara untuk sewaktu-waktu menyesuaikan operasi mereka dan ruangan kapal yang ada dengan kebutuhan angkutan yang dapat bersifat berubah-ubah pada suatu ketika, umpamanya apabila pada suatu waktu kebutuhan angkutan pelayaran nusantara telah dapat terpenuhi maka ruangan kapal yang berlebih dapat dimanfaatkan dalam penyelenggaraan pelayaran samudera dekat. Demikian pula apabila terdapat kebutuhan ruangan angkutan pelayaran nusantara yang meningkat, dapat diadakan penyesuaian seperlunya. Pemerintah dapat mentapkan ketentuan tentang penyesuaian tersebut.
     Dimungkinkannya penyelenggaraan usaha pelayaran samudera dekat oleh pelayaran samudera kiranya dapat difahami oleh karena kedua-duanya merupakan usaha pelayaran luar negeri.
     Dari penjelasan di atas dapat lah disimpulkan bahwa penyelenggaraan pelayaran samudera dekat bukan merupakan usaha pelayaran yang berdiri sendiri.

Pasal 21.

     Persyaratan tehnis bagi penyelenggaraan pelayaran samudera ditingkatkan dengan cara menetapkan pemilikan satuan kapal sekurang-kurangnya 2 buah kapal dengan jumlah minimal 28.000 isi kotor, atau sama dengan kurang-lebih 10.000 BRT. Satuan kapal yang digunakan dalam penyelenggaraan pelayaran samudera harus disesuaikan dengan ketentuan perundang-undangan nautis/teknis.
     Sebagai contoh kapal-kapal yang berukuran tertentu atas dasar ketentuan perundang-undangan yang dimaksud mungkin tidak dapat digunakan untuk pelayaran samudera untuk jurusan tertentu. Di samping itu diperlukan pula persyaratan yang didasarkan pada perhitungan ekonomi perusahaan.

Pasal 22.

     Cukup jelas.

Pasal 23

     Sesuai penjelasan Pasal 18.

Pasal 24.
     Kerjasama dengan fihak luar negeri guna membantu pertumbuhan dan perkembangan pelayaran luar negeri Indonesia, dapat bersifat kerjasama dibidang permodalan, tenaga ahli atau dapat pula merupakan pelbagai bentuk bantuan kredit jangka panjang.

Pasal 25.

     Mengingat besarnya volume perdagangan barang-barang bulk yang memerlukan kapal-kapal pengangkut khusus terutama sekali dalam perdagangan luar negeri, dalam rangka ketentuan pasal 11, maka perlulah pembinaan penyelenggaraan pelayaran khusus diarahkan kepada sasaran untuk dapat dikuasainya angkutan barang-barang bulk tersebut oleh armada kapal-kapal niaga Indonesia.
     Penyelenggaraan pelayaran khusus seperti pengangkutan minyak dan hasil-hasil minyak serta hasil-hasil pertambangan lainnya dan barang-barang khusus seperti logs dan lain-lain sebagian besar masih diangkut oleh kapal-kapal asing.
     Pembinaan penyelenggaran angkutan khusus ini perlu diarahkan pemilikan kapal-kapal/kapal pengangkut khusus sesuai dengan kebutuhan angkutan oleh perusahaan pelayaran nasional.

Pasal 26.

     Mengingat aspek-aspek tehnik pelayaran yang perlu diperhatikan dan diselenggarakan sebaik-baiknya dalam rangka pengembangan usaha pelayaran nasional Indonesia, maka kapal-kapal asing yang berlayar ke Indonesia harus menujuk perusahaan pelayaran Nusantara atau Samudera sebagai agen umum (general agent).
     Untuk mengumpulkan data-data yang diperlukan bagi pengembangan perdagangan dan pelayaran, agen umum kapal-kapal asing sebagaimana pula perusahaan-perusahaan pelayaran nasional diwajibkan menyampaikan laporan mengenai tarif pengangkutan, manifestast, keanggotaan conference atau bentuk kerjasama lainnya.

Pasal 27.

     Pemilik perusahaan pelayaran asing dapat pula menunjuk perorangan atau suatu badan hukum lain untuk bertindak sebagai wakilnya di Indonesia (owner's representative).
     Selanjutnya pasal ini menentukan pula bahwa perwakilan perusahaan pelayaran asing tersebut harus mengerahkan pekerjaan bongkar muat dan pekerjaan-pekerjaan pelayaran kapal kepada perusahaan pelayaran nusantara dan samudera nasional sebagai handling agent, satu dan lain karena kegiatan-kegiatan terminal pelayaran sesuai Pasal 12 dan Pasal 14 berada di tangan perusahaan pelayaran nasional.

Pasal 28.

     Kegiatan per-veem-an pada hakekatnya merupakan usaha penampungan dan penumpukan barang-barang yang ditunjukan bagi kepentingan perdagangan dimana di dalamnya dimungkinkan pula pekerjaan seperti sorting, coating, packing and repacking, up-grading, marking and remarking dan sebagainya.
     Oleh karena itu persyaratan-persyaratan kegiatan usaha dan prosedur memperoleh izin per-veem-an perlu ditetapkan oleh Menteri Perdagangan.
     Selanjutnya mengingat bahwa kegiatan per-veem-an tidak pula bersifat penumpukan/penyimpanan barang semata-mata tetapi meliputi pola kegiatan dalam rangka persiapan barang-barang untuk dikapalkan serta mengingat kegiatan per-veem-an tersebut berada dalam tingkungan kerja pelabuhan maka izin usaha per-veem-an diberikan oleh Menteri Perhubungan, atau pejabat yang ditunjuknya dengan mengindahkan syarat usaha per-veem-an dan prosedur memperoleh izin yang ditetapkan oleh menteri Perdagangan.

Pasal 29.

     Cukup jelas.

Pasal 30.

     Untuk menegakkan pembinaan yang sehat terhadap perkembangan perusahaan per-veem-an maka kepada perusahaan per-veem-ann yang secara nyata tidak berhasil melakukan usahanya sebagaimana disyaratkan perlu segera diambil tindakan pencabutan izin.

Pasal 31.

     Kerjasama dengan fihak luar negeri guna membantu pertumbuhan dan perkembangan usaha per-veem-an, dapat bersifat kerjasama dibidang permodalan, tenaga ahli atau dapat pula merupakan pelbagai bentuk bartuan kredit jangka panjang.

Pasal 32.

     Pada hakekatnya kegiatan ekspedisi muatan kapal laut merupakan kegiatan antara dalam mengurus kepentingan shippers/consignee. Berhubung dengan dihidupkannya kembali usaha per-veem-an tersebut dalam Pasal 28 yang menyelenggarakan usaha-usaha sepeti tecantum dalam Pasal 28 mengenai pengertian Veem, maka kegiatan ekspedisi muatan kapal laut perlu disesuaikan sehingga meliputi kegiatan pengurusan dokumen dan pekerjaan yang menyangkut penerimaan/penyerahan muatan yang diangkut melalui lautan untuk kepentingan pemilik barang. Pada hakekatnya pekerjaan pengurusan dokumen dan lain sebagainya itu dari segi pertimbangan ekonomis tertentu dapat pula dilakukan oleh yang berkepentingan sendiri atau oleh badan usaha lainnya yang sanggup dan berkeahlian untuk melakukannya. Ini berarati, bahwa suatu perusahaan perdagangan, sepanjang berkenaan dengan barang-barang perusahaannya sendiri dapat langsung menyelenggarakan kegiatan ekspedisi muatan kapal laut, jika memenuhi syarat-syarat tehnis yang diperlukan. Untuk itu diperlukan laporan dan registrasi seperlunya.
     Sungguhpun demikian tidak menutup kemungkinan untuk mendirikan usaha ekspedisi muatan kapal secara spesialisasi dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan tehnis-ekonomis dari yang bersangkutan.
     Dengan demikian penyelenggaraan dan pengusahaan ekspedisi muatan kapal laut dapat dilakukan oleh setiap badan usaha Indonesia yang bonafide.
     Sehubungan dengan itu usaha pelayaran dan per-veem-an atas dasar pertimbangan ekonomis dapat pula menyelenggarakan kegiatan ekspedisi muatan kapal laut.
     Untui menjamin penyelenggaraan jasa-jasa ekspediri muatan kapal laut sebaik-baiknya pada masyarakat, maka usaha tersebut harus memenuhi syarat-syarat tehnis yang ditentukan.
     Selanjutnya sehubungan dengan kegiatan per-veem-an yang mengharuskan adanya kewajiban investasi dibidang keahlian dan materiil, maka untuk lebih mendorong kegiatan ekspor dan perdagangan secara riil pembinaan kegiatan usaha ekspedisi muatan kapal laut perlu diarahkan kepada peningkatannya menjadi usaha per-veem-an.

Pasal 33.

     Cukup jelas.

Pasal 34.

     Untuk menegakkan pembinaan yang sehat terhadap perkembangan penyelenggaraan dan pengusahaan ekspedisi muatan maka kepada perusahaan-perusahaan yang secara nyata tidak berhasil melakukan usahanya sebagaimana disyaratkan perlu segera diambil tindakan pencabutan izin.

Pasal 35.

     Cukup jelas.

Pasal 36.

     Untuk memungkinkan terselenggaranya pengaturan kembali serta penyesuaian-penyesuaian dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dengan sebaik-baiknya tanpa perlu menimbulkan kegelisahan dalam masyarakat, dianggap perlu menentukan suatu ketentuan peralihan.

Pasal 37.

     Cukup jelas.

Pasal 38.

     Cukup jelas.

Pasal 39.

     Cukup jelas.

               ‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑

                            CATATAN

Kutipan:LEMBARAN NEGARA DAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA TAHUN 1969 YANG TELAH DICETAK ULANG


Sumber: LN 1969/2; TLN NO. 2881 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar