Senin, 10 Juli 2017

TERSUS (TERMINAL KHUSUS)/PELSUS(PELABUHAN KHUSUS) DAN DUKS (DERMAGA UNTUK KEPENTINGAN SENDIRI)/TERMINAL UNTUK KEPENTINGAN SENDIRI(TUKS)

Dalam UU lama 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, istilah Terminal Khusus adalah Pelabuhan Khusus (PELSUS). Setelah berlakunya UU No. 17 Tahun 2008, maka istilah Pelabuhan Khusus berubah menjadi Terminal Khusus

Terminal Khusus (Tersus) adalah terminal yang terletak DILUAR Daerah Lingkungan Kerja (DLKr) dan Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan  (DLKp), yang merupakan bagian dari pelabuhan terdekat untuk melayani kepentingan sendiri sesuai dengan usaha pokoknya.   

Sedangkan Dermaga Untuk kepentingan Sendiri (DUKS) adalah dermaga dan fasilitas pendukungnya yang berada DIDALAM Daerah Lingkungan Kerja dan/atau  Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan laut yang dibangun, dioperasikan dan digunakan untuk kepentingan sendiri guna menunjang kegiatan tertentu, berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran.
Setelah berlakunya UU No. 17 tahun 2008, maka istilah DUKS berubah menjadi Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS). Pengertian TUKS dan DUKS adalah sama.

Sedangkan istilah Terminal adalah fasilitas pelabuhan yang terdiri atas kolam sandar dan tempat kapal bersandar dan tempat kapal bersandar atau tambat, tempat penumpukan, tempat menunggu dan naik turun penumpang dan/atau tempat bongkar muat barang.


Terminal Khusus (TERSUS) dan TUKS dibangun dan dioperasikan, hanya bersifat menunjang kegiatan pokok perusahaan. Pembangunan Pelabuhan hanya bertujuan untuk menunjang usaha pokok dari perusahaan tersebut. Kegiatan usaha pokok antara lain ; pertambangan, energi, kehutanan, pertanian, perikanan, industri, pariwisata, dan dok dan galangan kapal.


Untuk menunjang kegiatan tertentu di luar Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan laut serta pelabuhan sungai dan danau dapat dibangun dan dioperasikan terminal khusus untuk kepentingan sendiri guna menunjang kegiatan usaha pokoknya.

Terminal khusus :

a. ditetapkan menjadi bagian dari pelabuhan terdekat;
b. wajib memiliki Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan tertentu; dan
c. ditempatkan instansi Pemerintah yang melaksanakan fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran, serta instansi yang melaksanakan fungsi pemerintahan sesuai dengan kebutuhan.


Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan tertentu , digunakan untuk:

a. lapangan penumpukan;
b. tempat kegiatan bongkar muat;
c. alur-pelayaran dan perlintasan kapal;
d. olah gerak kapal;
e. keperluan darurat; dan
f. tempat labuh kapal.

Terminal khusus  hanya dapat dibangun dan dioperasikan dalam hal:
a. pelabuhan terdekat tidak dapat menampung kegiatan pokok instansi pemerintah atau badan usaha; dan
b. berdasarkan pertimbangan ekonomis dan teknis operasional akan Iebih efektif dan efisien serta Iebih menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran.

Terminal Khusus dapat juga digunakan untuk menunjang usaha anak perusahaan sesuai dengan usaha pokok yang sejenis dan pemasok bahan baku dan peralatan penunjang produksi untuk keperluan badan usaha yang bersangkutan.

Kegiatan usaha pokok  antara lain:
a. pertambangan;
b. energi;
c. kehutanan;
d. pertanian;
e. perikanan;
f. industri;
g. pariwisata; dan
 h. dok dan galangan kapal.
i. Selain kegiatan usaha pokok diatas terminal khusus dapat dibangun dan dioperasikan untuk menunjang kegiatan pemerintahan, penelitian, pendidikan dan pelatihan serta sosial.

Jumat, 07 Juli 2017

Peringatan Teguran atau Somasi ( Legal Notice ) dalam Kerjasama

Somasi adalah teguran terhadap pihak calon tergugat. Tujuannya memberi kesempatan kepada pihak calon tergugat untuk berbuat sesuatu atau menghentikan suatu perbuatan sebagaimana tuntutan pihak penggugat. Cara ini efektif untuk menyelesaikan sengketa sebelum perkara diajukan ke pengadilan. Somasi bisa dilakukan individual atau kolektif baik oleh kuasa hukum maupun pihak yang dirugikan (calon penggugat). 

Surat Somasi berisi Peringatan, teguran, himbauan


Tujuan dari pemberian somasi adalah untuk memberikan kesempatan kepada pihak calon tergugat agar berbuat sesuatu atau menghentikan suatu perbuatan sebagaimana tuntutan pihak penggugat. Cara ini dinilai efektif untuk menyelesaikan sengketa sebelum suatu perkara diajukan ke pengadilan. Somasi bisa dilakukan oleh individual atau kolektif, baik oleh kuasa hukum maupun pihak yang dirugikan.
Secara umum, somasi dapat berwujud dalam tiga bentuk, yaitu:
  • Surat perintah, yaitu exploit juru sita. Ini adalah perintah lisan yang disampaikan juru sita kepada debitur. Dengan  lain, exploit adalah salinan surat peringatan.
  • Akta sejenisnya (soortgelijke akte), ialah akta autentik yang sejenis dengan exploit juru sita.
  • Dengan perikatan sendiri, yaitu perikatan yang mungkin terjadi jika pihak-pihak menentukan terlebih dahulu saat adanya kelalaian dari debitur di dalam suatu perjanjian. Misalnya, pada perjanjian dengan ketentuan waktu, secara teoretis, suatu perikatan lalai adalah tidak perlu. Jadi, dengan lampaunya suatu waktu, maka keadaan lalai itu terjadi dengan sendirinya.

Surat somasi biasanya dibuat tiga kali dengan jeda waktu masing-masing minimal tujuh hari. Jika setelah surat somasi ketiga pihak yang diperingatkan tidak menggubris, maka kemudian dilakukan penuntutan hukum, baik secara perdata maupun pidana atau hukum lainnya.

Unsur /Elemen Pokok dalam Surat Somasi setidaknya memuat :

  1. Tanggal serta kota diterbitkannya Surat Somasi
  2. Nomor Surat
  3. Perihal tertulis " Surat Peringatan" Surat Teguran " Surat Somasi " 
  4. Identitas serta Alamat Pihak yang disomasi
  5. Pokok Perjanjian atau Subjek yang menjadi dasar Pelanggaran 
  6. Rincian Pelanggaran/ Kelalaian
  7. Harapan atas Tuntutan Somasi
  8. Ancaman bila tidak mengindahkan somasi
  9. Batas Waktu bagi yang disomasi
  10. Tanda tangan dan Identitas Penerbit Somasi
  11. Tanda Terima
  12. Lampiran Bukti
  13. Kontak Person
  14. Fotocopy Arsip

Kamis, 06 Juli 2017

DLKP dan DLKR PELABUHAN

Undang Undang nomer 17 tahun 2008 tentang Pelayaran dijelaskan bahwa:

Daerah Lingkungan Kerja (DLKr) adalah wilayah perairan dan daratan pada pelabuhan atau terminal khusus yang digunakan secara langsung untuk kegiatan pelabuhan. 

Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) adalah perairan di sekeliling daerah lingkungan kerja perairan pelabuhan yang dipergunakan untuk menjamin keselamatan pelayaran. 

DLKr meliputi wilayah daratan dan perairan, sementara DLKp hanya meliputi wilayah perairan.

DLKr terbagi atas DLKr wilayah daratan dan DLKr wilayah perairan. DLKr daratan mencukup fasilitas pokok serta fasilitas penunjang. Fasilitas pokok yang dimaksud seperti di antaranya, dermaga, tentunya termasuk coast-way dan trestle yang menghubungkan dermaga dengan daratan. Fasilitas lainnya berupa tempat penyimpanan barang, seperti gudang, lapangan penumpukan, terminal peti kemas serta terminal curah cair/kering. Termasuk pula fasilitas pokok adalah terminal penumpang, fasilitas penampungan limbah, fasilitas pengolahan limbah dan fasilitas pemadam kebakaran.

Fasilitas penunjang yang dimaksud termasuk kedalam DLKr wilayah daratan, seperti di antaranya, kawasan perkantoran, instalasi air bersih/listrik/telekomunikasi, jaringan jalan, jaringan air limbah/drainase, kawasan perdagangan serta kawasan industri.
Untuk DLKr wilayah perairan digunakan untuk kegiatan seperti, alur pelayaran dari dan menuju pelabuhan; perairan tempat kapal berlabuh; perairan tempat alih muat antar kapal (ship to ship transhipment); kolam pelabuhan untuk kapal bersandar, kolam pelabuhan untuk areal olah gerak kapal (kebutuhan areal untuk kapal berputar arah); perairan untuk kegiatan karantina serta perairan untuk kapal pemerintah.
Daerah lingkungan kepentingan pelabuhan digunakan untuk kegiatan, seperti, keperluan keadaan darurat (seperti kapal terbakar atau kapal bocor); penempatan kapal mati; perairan untuk percobaan kapal berlayar; kegiatan pemanduan kapal serta fasilitas perbaikan/pembangunan/pemeliharaan kapal.
Di dalam Peraturan Pemerintah nomer 61 tahun 2009 tentang Kepelabuhanan dijelaskan tentang tata cara penetapan DLKr dan DLKp. Dalam Pasal 32 disebutkan bahwa DLKr dan DLKP ditetapkan oleh,
  1. Menteri, untuk untuk DLKr/DLKp pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul, atas rekomendasi dari gubernur serta bupati/walikota mengenai kesesuaian dengan tata ruang wilayah
  2. Gubernur, untuk DLKr/DLKp pelabuhan pengumpan regonal, atas rekomendasi dari bupati/walikota mengenai kesesuaian dengan tata ruang wilayah
  3. Bupati/walikota, untuk untuk DLKr/DLKp pelabuhan pengumpan lokal serta pelabuhan sungai dan danau
Sebagaimana disampaikan di dalam Peraturan Menteri Perhubungan nomer PM 51 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan Laut, berkenaan dengan DLKr/DLKp ini, penyelenggara pelabuhan mempunyai kewajiban di antaranya ; 

  • Memasang tanda batas, tanda batas di darat bisa berupa pagar, dan tanda batas di laut bisa berupa rambu-rambu navigasi
  • Melaksanakan pengamanan terhadap aset yang dimiliki
  • Menjamin ketertiban dan kelancaran operasional pelabuhan
  • Penyelenggara pelabuhan berkewajiban menjamin dan memelihara kelestarian lingkungan yang ada di dalam DLKr/DKLp
  • Menginformasikan batas-batas DLKr/DLKp kepada pelaku kegiatan kepelabuhanan dengan pencantuman pada peta laut
  • Untuk wilayah perairan, penyelenggara pelabuhan wajib menyediakan dan memelihara SBNP (sarana bantu navigasi pelayaran)
  • Menyediakan dan memelihara kolam pelabuhan dan alur pelayaran. Hal ini terutama terkait dengan kedalaman perairan di kolam dan alur. Kedalaman perairan harus cukup aman untuk dilayari kapal yang ada di pelabuhan tersebut.
  • Melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap penggunaan daerah pantai. Penyelenggara pelabuhan memastikan tidak ada kegiatan lain yang dapat saling mengganggu dengan kegiatan kepelabuhanan.

Rabu, 05 Juli 2017

Bentuk Bentuk Kerjasama antara Pemerintah dan Badan Usaha Swasta di Pelabuhan

1. Bentuk Kerjasama Operation, Maintanance and Service Contract ( Kerjasama Pelayanan, Operasi dan Perawatan )


Pemerintah memberikan wewenang kepada swasta dalam kegiatan operasional, perawatan dan kontrak pelayanan pada infrastruktur yang disediakan oleh pemerintah. Pihak swasta harus membuat suatu pelayanan dengan harga yang telah disetujui dan harus sesuai dengan standar performance yang telah ditentukan oleh pemerintah.Contoh Kerjasama Pelayanan Operasi dan Perawatan Crane dan Forklif, Kerjasama Pelayanan Kepil, Pelayanan Operasi Pandu Tunda dll.


2. Bentuk Kerjasama Bangun Operasikan dan Serah /Build, Operate and Transfer (BOT)

Kerjasama Bangun, Operasikan dan Transfer (Build, Operate and Transfer) digunakan untuk melibatkan investasi swasta pada pembangunan konstruksi infrastruktur baru. Di bawah prinsip BOT, pendanaan pihak swasta akan digunakan untuk membangun dan mengoperasikan fasilitas atau sistem infrastruktur berdasarkan standar-standar performance yang disusun oleh pemerintah. Masa periode yang diberikan memiliki waktu yang cukup panjang untuk perusahaan swasta untuk mendapatkan kembali biaya yang telah dikeluarkan guna membangun konstruksi beserta keuntungan yang akan didapat yaitu sekitar 10 sampai 20 tahun. Dalam hal ini pemerintah tetap menguasai kepemilikan fasilitas infrastruktur dan pemerintah memiliki dua peran sebagai pengguna dan regulator pelayanan infrastruktur tersebut.


3 Bentuk Kerjasama Konsesi / Sharing Bagi Hasil


Dalam Konsesi, Pemerintah memberikan tanggung jawab dan pengelolaan penuh kepada kontraktor (konsesioner) swasta untuk menyediakan pelayanan-pelayanan infrastruktur dalam sesuatu area tertentu, termasuk dalam hal pengoperasian, perawatan, pengumpulan dan manajemennya. Konsesioner bertanggung jawab atas sebagian besar investasi yang digunakan untuk membangun, meningkatkan kapasitas, atau memperluas sistem jaringan, dimana konsesioner mendapatkan pendanaan atas investasi yang dikeluarkan berasal dari tarif yang dibayar oleh konsumen. Sedangkan peran pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan standar performance dan menjamin kepada konsesioner.
Intinya, peran pemerintah telah bergeser dari yang dulunya penyedia pelayanan (provider) menjadi pemberi aturan (regulator) atas harga yang dikenakan dan jumlah yang harus disediakan. Aset-aset infrastruktur yang tetap dipercayakan kepada konsesioner untuk waktu kontrak tertentu, tetapi setelah kontrak habis maka aset infrastruktur akan menjadi milik pemerintah. Periode konsesi diberikan biasanya lebih dari 25 tahun. Lamanya tergantung pada perjanjian kontrak dan waktu yang dibutuhkan oleh konsesioner swasta untuk menutup biaya yang telah dikeluarkan.

Senin, 03 Juli 2017

Kerjasama Konsensi bagi hasil Kepelabuhanan

Pengertian konsesi adalah pemberian hak, izin, atau tanah oleh pemerintah, perusahaan, individu, atau entitas legal lain. Dalam dunia kepelabuhanan, konsesi diartikan sebagai hak penyelenggaraan pelabuhan yang diberikan oleh Kementerian Perhubungan kepada pemegang izin Badan Usaha Pelabuhan (BUP) terhadap objek konsesi. Dalam hal ini, Otoritas Pelabuhan menjadi pihak yang berwenang untuk pemberian izin konsesi bagi pelabuhan umum.

Perjanjian konsesi diatur berdasarkan beberapa peraturan perundangan, yaitu UU No. 17 tahun 2008 tentang pelayaran, PP No. 61 tahun 2009 tentang kepelabuhanan, PP No. 64 tahun 2015, PERMEN KEMENHUB No PM.15 tahun 2015 tentang konsesi dan perjanjian kerjasama lainnya antara pemerintah dengan badan usaha pelabuhan di bidang kepelabuhanan dan PERMEN KEMENHUB No. 166 tahun 2015.

Dasar Hukum;

Undang -Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran

Pasal 92 Kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan yang dilaksanakan oleh Badan Usaha Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) dilakukan berdasarkan konsesi atau bentuk lainnya dari Otoritas Pelabuhan, yang dituangkan dalam perjanjian. 

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN 

Paragraf 5

 Konsesi atau Bentuk Lainnya 
Pasal 74 
(1) Konsesi diberikan kepada Badan Usaha Pelabuhan untuk kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kapal, penumpang, dan barang sebagaimana dimaksud dalam
 Pasal 69 ayat (1) yang dituangkan dalam bentuk perjanjian.
 (2) Pemberian konsesi kepada Badan Usaha Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui mekanisme pelelangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 (3) Jangka waktu konsesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan pengembalian dana investasi dan keuntungan yang wajar.
 (4) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: 
a. lingkup pengusahaan;
 b. masa konsesi pengusahaan;
 c. tarif awal dan formula penyesuaian tarif; 
 d. hak dan kewajiban para pihak, termasuk resiko yang dipikul para pihak dimana alokasi resiko harus didasarkan pada prinsip pengalokasian resiko secara efisien dan seimbang; 
e. standar kinerja pelayanan serta prosedur penanganan keluhan masyarakat;
 f. sanksi dalam hal para pihak tidak memenuhi perjanjian pengusahaan; 
g. penyelesaian sengketa;
 h. pemutusan atau pengakhiran perjanjian pengusahaan;
 i. sistem hukum yang berlaku terhadap perjanjian pengusahaan adalah hukum Indonesia;
 j. keadaan kahar; dan 
k. perubahan-perubahan. 

Pasal 75
 (1) Dalam hal masa konsesi telah berakhir, fasilitas pelabuhan hasil konsesi beralih atau diserahkan kembali kepada penyelenggara pelabuhan. 
(2) Fasilitas pelabuhan yang sudah beralih kepada penyelenggara pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pengelolaannya diberikan kepada Badan Usaha Pelabuhan untuk kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kapal, penumpang, dan barang berdasarkan kerjasama pemanfaatan melalui mekanisme pelelangan. 
(3) Badan Usaha Pelabuhan yang telah ditetapkan melalui mekanisme pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam melaksanakan kegiatan pengusahaannya di pelabuhan harus dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 
(4) Kerjasama pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun sejak perjanjian kerjasama pemanfaatan ditandatangani. 

Pasal 76 
(1) Dalam kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa terkait dengan kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) penyelenggara pelabuhan dapat melakukan kerjasama dengan orang perseorangan warga negara Indonesia dan/atau badan usaha.  

(2) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk: 
a. penyewaan lahan; 
b. penyewaan gudang; dan/atau 
c. penyewaan penumpukan. 
(3) Penyewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Pasal 77 

Pendapatan konsesi dan kompensasi yang diterima oleh Otoritas Pelabuhan merupakan penerimaan negara yang penggunaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Pasal 78 

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pemberian dan pencabutan konsesi serta kerjasama diatur dengan Peraturan Menteri. 


PERATURAN MENTERI NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN LAUT

Pasal 23

(1) Otoritas Pelabuhan, Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan, atau Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) berperan sebagai wakil Pemerintah untuk memberikan konsesi atau bentuk kerjasama lainnya kepada Badan Usaha Pelabuhan untuk melakukan kegiatan pengusahaan di pelabuhan yang dituangkan dalam perjanjian.

 (3) Hasil konsesi yang diperoleh Otoritas Pelabuhan, Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan, atau Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) merupakan pendapatan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

5) Ketentuan mengenai konsesi atau bentuk kerjasama lainnya diatur dalam Peraturan Menteri tersendiri. 


PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR PM 15 TAHUN 2015 TENTANG KONSENSI DAN BENTUK KERJASAMA LAINNYA ANTARA PEMERINTAH DAN BADAN USAHA LAINNYA DI BIDANG KEPELABUHANAN

Pasal 43

(1) Pendapatan Konsensi dituangkan dalam perjanjian konsensi dihitung berdasarkan formula hubungan antara proyeksi trafik pelabuhan ,skema trafik pelabuhan, besaran konsensi yang besarnya (consension fee) sekurang kurangnya 2,5% (dua koma lima persen) dari pendapatan bruto dan masa konsensi.