Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM)
Tenaga Kerja Bongkar Muat disingkat TKBM adalah merupakan salah satu jenis TKLHK. Lebih spesifik lagi, TKBM adalah salah satu bentuk hubungan hukum atau perjanjian melakukan pekerjaan melalui pemborongan (paket) pekerjaan yang –nota bene– bukan hubungan kerja, sehingga tidak di-cover dalam UU Ketenagakerjaan.
Peraturan dan ketentuan mengenai TKBM tersebut sejak awal –memang– diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan sebagai bagian dari pelaksanaan ketentuan mengenai Kepelabuhanan (saat ini PP No. 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan, pengganti dari PP No. 69 Tahun 2001).
Dalam Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 14 Tahun 2002 (“Kepmenhub”) disebutkan, bahwa TKBM adalah semua tenaga kerja yang terdaftar pada pelabuhan setempat yang melakukan pekerjaan bongkar muat di pelabuhan (Pasal 1 angka 16 Kepmenhub).
Para TKBM ini bernaung di bawah Koperasi TKBM - yang dulunya diwadahi dengan Yayasan Usaha Karya (YUKA). Pembentukan Koperasi TKBM berawal dari Keputusan Bersama Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Direktur Jenderal Bina Hubungan Ketenagakerjaan dan Pengawasan Norma Kerja, dan Direktur Jenderal Bina Lembaga Koperasi Nomor: UM 52/1/9-89, KEP.103/BW/89, 17/SKD/BLK/VI/1989 tentang Pembentukan dan Pembinaan Koperasi Tenaga Kerja Bongkar Muat (“SKB-1989”) yang merupakan pelaksanaan dari Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1985 tentang Kebijaksanaan Kelancaran Arus Barang Untuk Menunjang Kegiatan Ekonomi.
Kemudian, SKB-1989 tersebut dicabut dan (saat ini) digantikan dengan Keputusan Bersama Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Direktur Jenderal Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Deputi Bidang kelembagaan Koperasi dan UKM Nomor: AL.59/II/12-02, -. No.300/BW/2002 - No.113/SKB/Dep-S/VIII/2002 tentang Pembinaan dan Pengembangan Koperasi TKBM di Pelabuhan tertanggal 27 Agustus 2002 (“SKB-2002”).
Sebagai tindak lanjut dari SKB-1989 tersebut, terbit Instruksi Bersama Menteri Perhubungan dan Menteri Tenaga Kerja Nomor: INS.2/HK.601/Phb-89 dan Nomor: INS-03/Men/89 tanggal 14 Januari 1989 tentang Pembentukan Koperasi di Tiap Pelabuhan sebagai pengganti Yayasan Usaha Karya (YUKA), yang sebelumnya mengelola TKBM.
Walaupun anggota Koperasi, akan tetapi para buruh TKBM itu bukan dan tidak merupakan “karyawan” dari Koperasi TKBM. Praktik pelaksanaan pekerjaan mereka persis seperti yang Saudara ceritakan dalam uraian di atas, bahwa mereka dibayar (mendapat bagian dari upah borongan) hanya ketika mereka datang dan bekerja, dan bayarannya sesuai tarif yang ditentukan Menteri Perhubungan (vide Pasal 2 jo Pasal 4 ayat (4) dan Lampiran III Kepmenhub No. 25 Thn. 2002).
Selain itu, mereka tidak terikat dengan daftar hadir (presensi) dan tidak ada waktu kerja yang ditentukan, karena tidak -dapat dipastikan- setiap hari ada pekerjaan. Demikian juga, tidak ada perintah atas pelaksanaan pekerjaan borongan, kemudian risiko serta tanggung-jawabnya langsung terhadap pekerjaan tersebut (strict liability).
Dengan demikian, bagi TKBM tidak memenuhi unsur-unsur hubungan kerja sebagaimana tersebut di atas. Dalam arti, hubungan hukum TKBM dengan Koperasi TKBM dan/atau perusahaan lainnya (termasuk Perusahaan Penyedia Jasa Bongkar Muat) bukan merupakan hubungan kerja, karena memang juga tidak ada perjanjian kerja, baik lisan maupun tertulis. Oleh karena itu -menurut hemat kami- ini (lebih mendekati) pada -hubungan hukum- pemborongan pekerjaan (aanneming van werk). Bentuk hubungan hukum (pemborongan pekerjaan oleh TKBM) semacam ini tidak diatur dalam UU Ketenagakerjaan (labour law). Walaupun demikian, jika dicermati, bentuk ini agak mirip seperti “outsourcing” yang dalam (Pasal 64) UU Ketenagakerjaan disebut sebagai penyerahan sebagian pelaksaaan pekerjaan suatu perusahaan kepada perusahaan lainnya, walau hakikatnya bukan outsourcing.
Kesimpulannya, hubungan hukum TKBM dengan Koperasi TKBM tersebut lebih tepat disebut sebagai hubungan hukum korporasi (corporate law), karena setiap buruh TKBM adalah anggota (owners) Koperasi TKBM, dan setiap mereka –hanya- boleh menjadi buruh bongkar muat dengan syarat dan ketentuan harus tergabung dalam keanggotaan Koperasi TKBM.
Pemutusan Hubungan Kerja TKBM
Mengenai kasus: adanya -buruh- yang tidak boleh masuk lagi (“ter-PHK”), dan kemudian menuntut uang PHK, sebagaimana uraian tersebut di atas, menurut hemat kami harus dikembalikan kepada hubungan hukumnya, yakni sebagai anggota Koperasi TKBM, yang nota bene hubungan hukum korporasi. Dengan perkataan lain, karena TKBM bukan hubungan kerja dan tidak didasarkan pada perjanjian kerja, maka tidak dapat diselesaikan menurut ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan, khususnya yang berkaitan dengan pemutusan hubungan kerja (“ter-PHK”) dan hak pesangon atau “uang PHK”.
ada kecenderungan pada (unsur-unsur) hubungan kerja, terlebih apabila misalnya –mereka- tidak tergabung sebagai karyawan TKBM dan bukan anggota Koperasi TKBM, serta mereka juga melakukan kegiatan penjemuran dan buang debu, menurut pendapat kami, bisa saja diselesaikan dengan cara (sesuai ketentuan) hubungan kerja (vide Pasal 1601c BW). Tinggal melihat mana yang lebih memenuhi unsur yang paling mendekati (semacam the most characteristic connection).
Berdasarkan Pasal 1601c BW, bilamana suatu hubungan hukum melakukan pekerjaan dapat dipastikan sebagai dan mengandung unsur-unsur hubungan kerja (berdasarkan perjanjian kerja), maka dapat diberlakukan ketentuan UU Ketenagakerjaan (maksudnya perjanjian perburuhan). Demikian juga apabila ada alasan PHK yang mewajibkan pengusaha membayar kompensasi atau istilah Saudara membayar “uang PHK” (uang pesangon/uang penghargaan masa kerja serta uang penggantian hak) sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003, tentunya pekerja/buruh berhak atas kompensasi uang PHK dimaksud.
Selain itu, apabila unsur-unsur hubungan kerja terpenuhi, namun hak pekerja/buruh tetap tidak diindahkan, maka tentu saja ia (para buruh bongkar muat) berhak menuntut sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang berlaku (vide Pasal 3 UU No. 2 Tahun 2004).
Dasar hukum:
f. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan jo PP No.69 Th. 2001
g. Instruksi Presiden Nomor 4 tahun 1985 tentang Kebijaksanaan Kelancaran Arus Barang Untuk Menunjang Kegiatan Ekonomi.
h. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pedoman Dasar Perhitungan Tarif Pelayanan Jasa Bongkar Muat dari dan ke Kapal di Pelabuhan
i. Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 14 Tahun 2002 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Bongkar Muat dari dan Ke Kapal di Pelabuhan sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri No. 42 tahun 2008;
j. Keputusan Bersama Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Direktur Jenderal Bina Hubungan Ketenagakerjaan dan Pengawasan Norma Kerja, serta Direktur Jenderal Bina Lembaga Koperasi Nomor : UM 52/1/9-89, KEP.103/BW/89, 17/SKD/BLK/VI/1989 tentang Pembentukan dan Pembinaan Koperasi Tenaga Kerja Bongkar Muat sebagaimanatelah dicabut dan digantikan dengan Keputusan Bersama Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Direktur Jenderal Pembinaan dan Pengawasan dan Deputi Bidang kelembagaan Koperasi dan UKM Nomor : AL.59/II/12-02, No. 300/BW/2002 dan No. 113/SKB/Dep-S/VIII/2002 tentang Pembinaan dan Pengembangan Koperasi TKBM di Pelabuhan;
k. Instruksi Bersama Menteri Perhubungan dan Menteri Tenaga Kerja No. INS.2/HK.601/Phb-89 dan No. INS-03/Men/89 tanggal 14 Januari 1989 tentang Pembentukan Koperasi di tiap Pelabuhan sebagai Penganti Yayasan Usaha Karya (YUKA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar