Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal
1
Dalam Undang-undang
ini yang dimaksud dengan :
1. Lalu lintas
adalah gerak kendaraan, orang dan hewan di jalan;
2. Angkutan
adalah pemindahan orang dan atau barang dari satu tempat ke tempat
lain dengan menggunakan kendaraan;
3. Jaringan
transportasi jalan adalah serangkaian simpul dan atau ruang kegiatan
yang dihubungkan oleh ruang lalu lintas sehingga membentuk satu
kesatuan sistem jaringan untuk keperluan penyelenggaraan lalu lintas
dan angkutan jalan;
4. Jalan adalah
jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umu;
5. Terminal
adalah prasarana transportasi jalan untuk keperluan memuat dan menurunkan
orang dan atau barang serta mengatur kedatangan dan pemberangkatan
kendaraan umum, yang merupakan salah satu wujud simpul jaringan
transportasi.
6. Kendaraan
adalah suatu alat yang dapat bergerak di jalan, terdiri dari kendaraan
bermotor atau kendaraan tidak bermotor;
7. Kendaraan
bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik
yang berada pada kendaraan itu;
8. Perusahaan
angkutan umum adalah perusahaan yang menyediakan jasa angkutan orang
dan/atau barang dengan kendaraan umum di jalan;
9. Kendaraan
umum adalah setiap kendaraan bermotor yang disediakan untuk dipergunakan
oleh umum dengan dipungut bayaran;
10. Pengguna
jasa adalah setiap orang dan atau badan hukum yang menggunakan jasa
angkutan, baik untuk angkutan orang maupun barang.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal
2
Transportasi
jalan sebagai salah satu moda transportasi nasional diselenggarakan
berdasarkan asas manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan
merata, keseimbangan, kepentingan umum, keterpaduan, kesadaran umum,
dan percaya pada diri sendiri.
Pasal
3
Transportasi
jalan diselenggarakan dengan tjuan untuk mewujudkan lalu lintas
dan angkutan jalan dengan selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan
teratur, nyaman dan efisien, mampu memadukan moda transportasi lainnya,
menjangkau seluruh pelosok wilayah daratan, untuk menunjang pemerataan,
pertumbuhan dan stabilitas sebagai pendorong, penggerak dan penunjang
pembangunan nasional dengan biaya yang terjangkau oleh daya beli
masyarakat.
BAB III
PEMBINAAN
PEMBINAAN
Pasal
4
(1) Lalu lintas
dan angkutan jalan dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan
oleh pemerintah.
(2) Penyelenggaraan
lalu lintas dan angkutan jalan dilaksanakan berdasarkan ketentuan
dalam Undang-undang ini.
Pasal
5
(1) Pembinaan
lalu lintas dan angkutan jalan diarahkan untuk meningkatkan penyelenggaraan
lalu lintas dan angkutan jalan dalam keseluruhan moda transportasi
secara terpadu dengan memperhatikan seluruh aspek kehidupan masyarakat
untuk mewujudkan tujuan seperti tersebut dalam Pasal 3.
(2) Pembinaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB IV
PRASARANA
PRASARANA
Bagian
Pertama
Jaringan Transportasi Jalan
Jaringan Transportasi Jalan
Pasal
6
(1) Untuk mewujudkan
lalu lintas dan angkutan jalan yang terpadu dengan moda transportasi
lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ditetapkan jaringan transportasi
jalan yang menghubungkan seluruh wilayah tanah air.
(2) Penetapan
jaringan transportasi jalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
didasarkan pada kebutuhan transportasi, fungsi, peranan, kapasitas
lalu lintas, dan kelas jalan.
BAB IV
PRASARANA
PRASARANA
Bagian
Kedua
Kelas Jalan dan Penggunaan Jalan
Kelas Jalan dan Penggunaan Jalan
Pasal
7
(1) Untuk pengaturan
penggunaan jalan dan pemenuhan kebutuhan angkutan, jalan dibagi
dalam beberapa kelas.
(2) Pengaturan
kelas jalan sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal
8
(1) Untuk keselamatan,
keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas serta kemudahan
bagi pemakai jalan, jalan wajib dilengkapi dengan :
a. rambu-rambu;b. marka jalan;
c. alat pemberi
isyarat lalu lintas;
d. alat pengendali
dan alat pengamanan pemakai jalan;
e. alat pengawasan
dan pengamanan jalan;
f. fasilitas
pendukung kegiatan lalu lintas dan angkutan jalan yang berada di
jalan dan di luar jalan.
(2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB IV
PRASARANA
PRASARANA
Bagian
Ketiga
Terminal
Terminal
Pasal
9
(1) Untuk menunjang
kelancaran mobilitas orang maupun arus barang dan untuk terlaksananya
keterpaduan intra dan antar moda secara lancar dan tertib, di tempat-tempat
tertentu dapat dibangun dan diselenggarakan terminal.
(2) Pembangunan
terminal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh pemerintah
dan dapat mengikutsertakan badan hukum Indonesia.
(3) Penyelenggaraan
terminal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh pemerintah.
(4) Ketentuan
mengenai pembangunan dan penyelenggaraan terminal sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal
10
(1) Pada terminal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dapat dilakukan kegiatan
usaha penunjang.
(2) Kegiatan
usaha penunjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan
oleh badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia.
(3) Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IV
PRASARANA
PRASARANA
Bagian
Keempat
Fasilitas Parkir Untuk Umum
Fasilitas Parkir Untuk Umum
Pasal
11
(1) Untuk menunjang
keselamatan, keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dan
angkutan jalan dapat diadakan fasilitas parkir untuk umum.
(2) Fasilitas
parkir untuk umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diselenggarakan
oleh Pemerintah, badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia.
(3) Ketentuan
mengenai fasilitas parkir sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
KENDARAAN
KENDARAAN
Bagian
Pertama
Persyaratan Teknis dan Laik Jalan Kendaraan Bermotor
Persyaratan Teknis dan Laik Jalan Kendaraan Bermotor
Pasal
12
(1) Setiap kendaraan
bermotor yang dioperasikan di jalan harus sesuai dengan peruntukannya,
memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan serta sesuai dengan kelas
jalan yang dilalui.
(2) Setiap kendaraan
bermotor, kereta gandengan, kereta tempelan dan kendaraan khusus
yang dibuat dan/atau dirakit di dalam negeri serta diimpor, harus
sesuai dengan peruntukan dan kelas jalan yang akan dilaluinya serta
wajib memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan.
(3) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
KENDARAAN
KENDARAAN
Bagian
Kedua
Pengujian Kendaraan bermotor
Pengujian Kendaraan bermotor
Pasal
13
(1) Setiap kendaraan
bermotor, kereta gandengan, kereta tempelan, dan kendaraan khusus
yang dioperasikan di jalan wajib diuji.
(2) Pengujian
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi uji tipe dan atau uji
berkala.
(3) Kendaraan
yang dinyatakan lulus uji sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberikan
tanda bukti.
(4) Persyaratan,
tata cara pengujian, masa berlaku, dan pemberian tanda bukti sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB V
KENDARAAN
KENDARAAN
Bagian
Ketiga
Pendaftaran Kendaraan Bermotor
Pendaftaran Kendaraan Bermotor
Pasal
14
(1) Setiap kendaraan
bermotor yang dioperasikan di jalan wajib didaftarkan.
(2) Sebagai
tanda bukti pendaftaran diberikan bukti pendaftaran kendaraan bermotor.
(3) Syarat-syarat
dan tata cara pendaftaran, bentuk, dan jenis tanda bukti pendaftaran
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
KENDARAAN
KENDARAAN
Bagian
Keempat
Bengkel Umum Kendaraan Bermotor
Bengkel Umum Kendaraan Bermotor
Pasal
15
(1) Agar kendaraan
bermotor tetap memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan, dapat
diselenggarakan bengkel umum kendaraan bermotor.
(2) Ketentuan
mengenai persyaratan dan tata cara penyelenggaraan bengkel umum
kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
KENDARAAN
KENDARAAN
Bagian
Kelima
Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan
Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan
Pasal
16
(1) Untuk keselamatan,
keamanan, dan ketertiban lalu lintas dan angkutan jalan, dapat dilakukan
pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan.
(2) Pemeriksaan
kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi
:
a. pemeriksaan
persyaratan teknis dan laik jalan;
b. Pemeriksaan
tanda bukti lulus uji, surat tanda bukti pendaftaran atau surat
tanda coba kendaraan bermotor, dan surat izin mengemudi sebagimana
dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14, Pasal 18, dan lain-lain yang
diperlukan.
(3) Ketentuan
mengenai syarat-syarat dan tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB V
KENDARAAN
KENDARAAN
Bagian
Keenam
Persyaratan Kendaraan Bermotor
Persyaratan Kendaraan Bermotor
Pasal
17
(1) Setiap kendaraan
tidak bermotor yang dioperasikan di jalan wajib memenuhi persyaratan
keselamatan.
(2) Persyaratan
keselamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
PENGEMUDI
PENGEMUDI
Bagian
Pertama
Persyaratan Pengemudi
Persyaratan Pengemudi
Pasal
18
(1) Setiap pengemudi
kendaraan bermotor, wajib memiliki surat izin mengemudi.
(2) Penggolongan,
persyaratan, masa berlaku, dan tata cara memperoleh surat izin mengemudi,
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
19
(1) Untuk mendapatkan
surat izin mengemudi yang pertama kali pada setiap golongan, calon
pengemudi wajib mengikuti ujian mengemudi, setelah memperoleh pendidikan
dan latihan mengemudi.
(2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
PemerintahBAB VI
PENGEMUDI
Bagian
Kedua
Pergantian Pengemudi
Pergantian Pengemudi
Pasal
20
(1) Untuk menjamin
keselamatan lalu lintas dan angkutan di jalan, perusahaan angkutan
umum wajib mematuhi ketentuan mengenai waktu kerja dan waktu istirahat
bagi pengemudi.
(2) Ketentuan
mengenai waktu kerja dan waktu istirahat bagi pengemudi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII
LALU LINTAS
LALU LINTAS
Bagian
Pertama
Tata Cara Berlalu Lintas
Tata Cara Berlalu Lintas
Pasal
21
(1) Tata cara
berlalu lintas di jalan adalah dengan mengambil jalur jalan sebelah
kiri.
(2) Dalam keadaan
tertentu dapat ditetapkan pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
(3) Persyaratan
dan tata cara untuk melakukan pengecualian sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
22
(1) Untuk keselamatan,
keamanan, kelancaran, dan ketertiban lalu lintas dan angkutan jalan
ditetapkan ketentuan-ketentuan mengenai:
a. rekayasa
dan manajemen lalu lintas;
b. gerakan lalu
lintas kendaraan bermotor;
c. berhenti
dan parkir;
d. penggunaan
peralatan dan perlengkapan kendaraan bermotor yang diharuskan, peringatan
dengan bunyi dan sinar;
e. tata cara
menggiring hewan dan penggunaan kendaraan tidak bermotor di jalan;
f. tata cara
penetapan kecepatan maksimum dan atau minimum kendaraan bermotor;
g. perilaku
pengemudi terhadap pejalan kaki;
h. penetapan
muatan sumbu kurang dari muatan sumbu terberat yang diizinkan;
i. tata cara
mengangkut orang dan/atau barang serta penggandengan dan penempelan
dengan kendaraan lain;
j. penetapan
larangan penggunaan jalan;
k. penunjukan
lokasi, pembuatan dan pemeliharaan tempat pemberhentian untuk kendaraan
umum.
(2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal
23
(1) Pengemudi
kendaraan bermotor pada waktu mengemudikan kendaraan bermotor di
jalan, wajib:
a. mampu mengemudikan
kendaraannya dengan wajar;
b. mengutamakan
keselamatan pejalan kaki;
c. menunjukkan
surat tanda bukti pendaftaran kendaraan bermotor, atau surat tanda
coba kendaraan bermotor, surat izin mengemudi, dan tanda bukti lulus
uji, atau tanda bukti lain yang sah, dalam hal dilakukan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16;
d. mematuhi
ketentuan tentang kelas jalan, rambu-rambu dan marka jalan, alat
pemberi isyarat lalu lintas, waktu kerja dan waktu istirahat pengemudi,
gerakan lalu lintas, berhenti dan parkir, persyaratan teknis dan
laik jalan kendaraan bermotor, peringatan dengan bunyi dan sinar,
kecepatan maksimum dan atau minuman, tata cara penggandengan dan
penempelan dengan kendaraan lain;
e. memakai sabuk
keselamatan bagi pengemudi kendaraan bermotor roda empat atau lebih,
dan mempergunakan helm bagi pengemudi kendaraan bermotor roda dua
atau bagi pengemudi kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang
tidak dilengkapi dengan rumah-rumah.
(2) Penumpang
kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang duduk di samping pengemudi
wajib memakai sabuk keselamatan, dan bagi penumpang kendaraan bermotor
roda dua atau kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang tidak
dilengkapi dengan rumah-rumah wajib memakai helm.
Pasal
24
(1) Untuk keselamatan,
keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dan angkutan di
jalan, setiap orang yang menggunakan jalan, wajib:
a. berperilaku
tertib dengan mencegah hal-hal yang dapat merintangi, membahayakan
kebebasan atau keselamatan lalu lintas, atau yang dapat menimbulkan
kerusakan jalan dan bangunan di jalan;
b. menempatkan
kendaraan atau benda-benda lainnya di jalan sesuai dengan peruntukannya.
(2)
Pengemudi dan pemilik kendaraan bertanggung jawab terhadap kendaraan
berikut muatannya yang ditinggalkan di jalan.
Bagian
Kedua
Penggunaan Jalan Selain Untuk Kegiatan Lalu Lintas
Penggunaan Jalan Selain Untuk Kegiatan Lalu Lintas
Pasal
25
(1) Penggunaan
jalan untuk keperluan tertentu di luar fungsi sebagai jalan, dan
penyelenggaraan kegiatan dengan menggunakan jalan yang patut diduga
dapat menggangu keselamatan, keamanan, dan kelancaran lalu lintas
hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin.
(2) Persyaratan
dan tata cara untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Ketiga
Pejalan Kaki
Pejalan Kaki
Pasal
26
(1) Pejalan
kaki wajib berjalan pada bagian jalan dan menyeberang pada tempat
penyeberangan yang telah disediakan bagi pejalan kaki.
(2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian
Keempat
Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan Lalu Lintas
Pasal
27
(1) Pengemudi
kendaraan bermotor yang terlibat peristiwa kecelakaan lalu lintas,
wajib:
a. menghentikan
kendaraan;
b. menolong
orang yang menjadi korban kecelakaan;
c. melaporkan
kecelakaan tersebut kepada pejabat polisi negara Republik Indonesia
terdekat.
(2) Apabila
pengemudi kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
oleh karena keadaan memaksa tidak dapat melaksanakan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b, kepadanya tetap diwajibkan
segera melaporkan diri kepada pejabat polisi negara Republik Indonesia
terdekat.
Pasal
28
Pengemudi kendaraan
bermotor bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang
dan atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga, yang timbul karena
kelalaian atau kesalahan pengemudi dalam mengemudikan kendaraan
bermotor.
Pasal
29
Ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 tidak berlaku dalam hal:
a. adanya keadaan
memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar kemampuan;
b. disebabkan
perilaku korban sendiri atau pihak ketiga;
c. disebabkan
gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan.
Pasal
30
(1) Setiap pengemudi,
pemilik, dan atau pengusaha angkutan umum bertanggung jawab terhadap
kerusakan jalan dan jembatan atau fasilitas lalu lintas yang merupakan
begian dari jalan itu yang mengakibatkan oleh kendaraan bermotor
yang dioperasikannya.
(2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku dalam hal adanya
keadaan memaksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf a.
Pasal
31
(1) Apabila
korban meninggal, pengemudi dan/atau pemilik dan atau pengusaha
angkutan umum wajib memberi bantuan kepada ahli waris dari korban
berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman.
(2) Apabila
terjadi cedera terhadap badan atau kesehatan korban, bantuan yang
diberikan kepada korban berupa biaya pengobatan.
Bagian
Kelima
Asuransi
Asuransi
Pasal
32
(1) Setiap kendaraan
umum wajib diasuransikan terhadap kendaraan itu sendiri maupun terhadap
kerugian yang diderita pihak ketiga sebagai akibat pengoperasian
kendaraan.
(2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah
Pasal
33
(1) Pengusaha
angkutan umum wajib mengasuransikan orang yang dipekerjakannya sebagai
awak kendaraan terhadap risiko terjadinya kecelakaan.
(2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
ANGKUTAN
Bagian
Pertama
Angkutan Orang dan Barang
Angkutan Orang dan Barang
Pasal
34
(1) Pengangkutan
orang dengan kendaraan bermotor wajib menggunakan kendaraan bermotor
untuk penumpang.
(2) Pengangkutan
barang dengan kendaraan bermotor wajib menggunakan kendaraan bermotor
untuk barang.
(3) Dalam keadaan
tertentu dapat diberikan pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) yang persyaratannya diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
35
Kegiatan pengangkutan
orang dan atau barang dengan memungut pembayaran hanya dilakukan
dengan kendaraan umum.
Bagian
Kedua
Angkutan Orang dengan Kendaraan Umum
Angkutan Orang dengan Kendaraan Umum
Pasal
36
Pelayanan angkutan
orang dengan kendaraan umum terdiri dari:
a. angkutan
antar kota yang merupakan pemindahan orang dari suatu kota ke kota
lain;
b. angkutan
kota yang merupakan pemindahan orang dalam wilayah kota;
c. angkutan
pedesaan yang merupakan pemindahan orang dalam dan/atau antarwilayah
pedesaan.
d. angkutan
lintas batas negara yang merupakan angkutan orang yang melalui lintas
batas negara lain.
Pasal
37
(1) Pelayanan
angkutan orang dengan kendaraan umum sebagaimana dimakud dalam Pasal
36, dapat dilaksanakan dengan trayek tetap dan teratur atau tidak
dalam trayek.
(2) Pelayanan
angkutan orang dengan kendaraan umum dalam trayek tetap dan teratur
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan dalam jaringan trayek.
(3) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
38
(1) Pengangkutan
orang dengan kendaraan umum untuk keperluan pariwisata, dilakukan
dengan memperhatikan ketentuan Undang-undang ini.
(2) Persyaratan
dan tata cara memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Ketiga
Pejalan Kaki
Pejalan Kaki
Pasal 39
(1) Pejalan
kaki wajib berjalan pada bagian jalan dan menyeberang pada tempat
penyeberangan yang telah disediakan bagi pejalan kaki.
(2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian
Keempat
Pengusahaan
Pengusahaan
Pasal
41
(1) Usaha angkutan
orang dan/atau barang dengan kendaraan umum, dapat dilakukan oleh
badan hukum Indonesia atau Warga Negara Indonesia.
(2) Usaha angkutan
orang dan atau barang dengan kendaraan umum sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), dilakukan berdasarkan izin.
(3) Jenis, persyaratan,
dan tata cara untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Kelima
Tarif
Tarif
Pasal
42
Struktur dan
golongan tarif angkutan dengan kendaraan umum, ditetapkan oleh Pemerintah.
Bagian
Keenam
Tanggung Jawab Pengangkut
Tanggung Jawab Pengangkut
Pasal
43
(1) Pengusaha
angkutan umum wajib mengangkut orang dan/atau barang, setelah disepakatinya
perjanjian pengangkutan dan/atau dilakukan pembayaran biaya angkutan
oleh penumpang dan atau pengirim barang.
(2) Karcis penumpang
atau surat angkutan barang merupakan tanda bukti telah terjadinya
perjanjian angkutan dan pembayaran biaya angkutan.
Pasal
44
Pengusaha angkutan
umum wajib mengembalikan biaya angkutan yang telah dibayar oleh
penumpang dan/atau pengirim barang, jika terjadi pembatalan pemberangkatan
kendaraan umum.
Pasal
45
(1) Pengusaha
angkutan umum bartanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh
penumpang , pengirim barang atau pihak ketiga, karena kelalaiannya
dalam melaksanakan pelayanan angkutan.
(2) Besarnya
ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), adalah sebesar kerugian
yang secara nyata diderita oleh penumpang, pengirim barang atau
pihak ketiga.
(3) Tanggung
jawab pengusaha angkutan umum terhadap penumpang sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), dimulai sejak diangkutnya penumpang sampai di tempat
tujuan pengangkutan yang telah disepakati.
(4) Tanggung
jawab pengusaha angkutan umum terhadap pemilik barang sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dimulai sejak diterimanya barang yang akan
diangkut sampai diserahkannya barang kepada pengirim dan/atau penerima
barang.
Pasal
46
(1) Pengusaha
angkutan umum wajib mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana
dalam Pasal 45 ayat (1).
(2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal
47
Pengemudi angkutan
umum dapat menurunkan penumpang dan/atau barang yang diangkut pada
tempat pemberhentian terdekat, apabila ternyata penumpang dan/atau
barang yang diangkut dapat membahayakan keamanan dan keselamatan
angkutan.
Pasal
48
(1) Pengusaha
angkutan umum dapat mengenakan tambahan biaya penyimpanan barang
kepada pengirim dan/atau penerima barang , yang tidak mengambil
barangnya, di tempat tujuan dan waktu yang telah disepakati.
(2) Pengirim
dan/atau penerima barang hanya dapat mengambil barang setelah biaya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilunasi.
(3) Barang yang
tidak diambil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih dari waktu
tertentu, dinyatakan sebagai barang tak bertuan dan dapat dijual
secara lelang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
BAB IX
LALU LINTAS DAN ANGKUTAN BAGI PENDERITA CACAT
LALU LINTAS DAN ANGKUTAN BAGI PENDERITA CACAT
Pasal
49
(1) Penderita
cacat berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan khusus dalam
bidang lalu lintas dan angkutan jalan.
(2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB X
DAMPAK LINGKUNGAN
DAMPAK LINGKUNGAN
Pasal
50
(1) Untuk mencegah
pencemaran udara dan kebiasaan suara kendaraan bermotor yang dapat
mengganggu kelestarian lingkungan hidup, setiap kendaraan bermotor
wajib memenuhi persyaratan ambang batas emisi gas buang dan tingkat
kebisingan.
(2) Setiap pemilik,
pengusaha angkutan umum dan atau pengemudi kendaraan bermotor, wajib
mencegah terjadinya pencemaran udara dan kebisingan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), yang diakibatkan oleh pengoperasian kendaraannya.
(3) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XI
PENYERAHAN URUSAN
PENYERAHAN URUSAN
Pasal
51
(1) Pemerintah
dapat menyerahkan sebagian urusan pemerintahan dalam bidang lalu
lintas dan angkutan jalan kepada Pemerintah Daerah.
(2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB XII
PENYIDIKAN
PENYIDIKAN
Pasal
52
Pemeriksaan
terhadap kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16,
atau penyidikan terhadap pelanggaran di bidang lalu lintas dan angkutan
jalan, tidak disertai dengan penyitaan kendaraan bermotor dan atau
surat tanda nomor kendaraan bermotor, kecuali dalam hal:
a. kendaraan
bermotor diduga berasal dari hasil tindak pidana atau digunakan
untuk melakukan tindak pidana;
b. pelanggaran
lalu lintas tersebut mengakibatkan meninggalnya orang;
c. pengemudi
tidak dapat menunjukkan tanda bukti lulus uji kendaraan bermotor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3);
d. pengemudi
tidak dapat menunjukkan surat tanda nomor kendaraan bermotor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2);
e. pengemudi
tidak dapat menunjukkan surat izin mengemudi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (1).
Pasal
53
(1) Selain pejabat
polisi negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu
di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya
meliputi pembinaan di bidang lalu lintas dan angkutan jalan, diberi
wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 8 Tahin 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan
tindak pidana di bidang lalu lintas dan angkutan jalan;
(2) Penyidik
sebagaimana dimakud dalam ayat (1), berwenang untuk:
a. melakukan
pemeriksaan atas kebenaran keterangan berkenaan dengan pemenuhan
persyaratan teknis dan alik jalan kendaraan bermotor;
b. melarang
atau menunda pengoperasian kendaraan bermotor yang tidak memenuhi
persyaratan teknis dan laik jalan;
c. meminta keterangan
dan barang bukti dari pengemudi, pemilik kendaraan, atau pengusaha
angkutan umum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut persyaratan
teknis dan alik jalan kendaraan bermotor;
d. melakukan
penyitaan tanda uji kendaraan yang tidak sah;
e. melakukan
pemeriksaan terhadap perizinan angkutan umum di terminal;
f. melakukan
pemeriksaan terhadap berat kendaraan beserta muatannya;
g. memuat dan
menandatangani berita acara pemeriksaan;
h. menghentikan
penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak
pidana yang menyangkut persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan
bermotor serta perizinan angkutan umum.
(3) Pelaksanaan
penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), dilakukan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XIII
KETENTUAN PIDANA
KETENTUAN PIDANA
Pasal
54
Barangsiapa
mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang tidak sesuai dengan
peruntukkannya, atau tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik
jalan, atau tidak sesuai dengan kelas jalan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama
3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 3.000.000,00 (tiga
juta rupiah).
Pasal
55
Barangsiapa
memasukkan ke dalam wilayah Indonesia, atau membuat atau merakit
kendaraan bermotor, kereta gandengan, kereta tempelan, dan kendaraan
khusus yang akan dioperasikan di dalam negeri yang tidak sesuai
dengan peruntukkan, atau tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik
jalan, atau tidak sesuai dengan kelas jalan yang akan dilaluinya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda setinggi-tingginya
Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Pasal
56
(1) Barangsiapa
mengemudikan kendaraan bermotor, kereta gandengan, kereta tempelan
dan kendaraan khusus di jalan tanpa dilengkapi dengan tanda bukti
lulus uji sebagaimana dimaksud Pasal 13 ayat (3) dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda setingi-tingginya
Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah).
(2) Apabila
kendaraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata tidak memiliki
tanda bukti lulus uji, dipidana dengan pidana kurungan paling lama
6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 6.000.000,00 (enam
juta rupiah).
Pasal
57
(1) Barangsiapa
mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang tidak didaftarkan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (1) dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya
Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah).
Pasal
58
Barangsiapa
mengemudikan kendaraan tidak bermotor di jalan yang tidak memenuhi
persyaratan keselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 7 (tujuh) hari atau
denda setinggi-tingginya Rp. 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu
rupiah).
Pasal
59
(1) Barangsiapa
mengemudikan kendaraan bermotor dan tidak dapat menunjukkan surat
izin mengemudi sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (1) dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda setinggi-tingginya
Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah).
(2) Apabila
pengemudi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata tidak memiliki
surat izin mengemudi, dipidana dengan pidana kurungan paling lama
6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 6.000.000,00 (enam
juta rupiah).
Pasal
60
(1) Barangsiapa
mengemudikan kendaraan bermotor di jalan dalam keadaan tidak mampu
mengemudikan kendaraan dengan wajar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23 ayat (1) huruf a dipidana dengan pidana kurungan paling lama
3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 3.000.000,00 (tiga
juta rupiah).
(2) Barangsiapa
mengemudikan kendaraan bermotor di jalan dan tidak mengutamakan
keselamatan pejalan kaki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat
(1) huruf b dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,00 (satu juta
rupiah).
Pasal
61
(1) Barangsiapa
melanggar ketentuan mengenai rambu-rambu dan marka jalan, alat pemberi
isyarat lalu lintas, gerakan lalu lintas, berhenti dan parkir, peringatan
dengan bunyi dan sinar, kecepatan maksimum atau minimum dan tata
cara penggandengan dan penempelan dengan kendaraan lain sebagaimana
yang dimaksud dalam pasal 23 ayat (1) huruf d, dipidana dengan pidana
kurunganpaling lama 1 (satu) bulan atau denda setinggi-tingginya
Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(2) Barangsiapa
tidak menggunakan sabuk keselamatan pada waktu mengemudikan kendaraan
bermotor roda empat atau lebih, atau tidak mengggunakan helm pada
waktu mengemudikan kendaraan bermotor roda dua atau pada waktu mengemudikan
kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang tidak dilengkapi dengan
rumah-rumah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf
e, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau
denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(3) Barangsiapa
tidak memakai sabuk keselamatan pada waktu duduk di samping pengemudi
kendaraan bermotor roda empat atau lebih, atau tidak memakai helm
pada waktu menumpang kendaraan bermotor roda dua atau menumpang
kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang tidak dilengkapi dengan
rumah-rumah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda setinggi-tingginya
Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Pasal
62
Barangsiapa
menggunakan jalan di luar fungsi sebagai jalan, atau menyelenggarakan
kegiatan dengan menggunakan jalan tanpa izin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,00 (satu juta
rupiah).
Pasal
63
Barangsiapa
terlibat peristiwa kecelakaan lalu lintas pada waktu mengemudikan
kendaraan bermotor di jalan dan tidak menghentikan kendaraannya,
tidak menolong orang yang menjadi korban kecelakaan, dan tidak melaporkan
kecelakaan tersebut kepada pejabat polisi negara Republik Indonesia
terdekat, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya
Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah).
Pasal
64
Barangsiapa
tidak mengasuransikan kendaraan bermotor yang digunakan sebagaimana
kendaraan umum, baik terhadap kendaraan itu sendiri maupun terhadap
kemungkinan kerugian yang akan diderita oleh pihak ketiga sebagai
akibat pengoperasian kendaraannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
32 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga)
bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 3.000.000,00 (tiga juta
rupiah).
Pasal
65
Barangsiapa
tidak mengasuransikan orang yang dipekerjakannya sebagai awak kendaraan
terhadap resiko terjadinya kecelakaan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 33 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan
atau denda setinggi-tingginya Rp. 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Pasal
66
Barangsiapa
melakukan usaha angkutan wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal
38, atau melakukan usaha angkutan orang dan atau barang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) tanpa izin dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya
Rp. 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Pasal
67
Barangsiapa
mengemudikan kendaraan bermotor yang tidak memenuhi persyaratan
ambang batas emisi gas buang, atau tingkat kebisingan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda setinggi-tingginya
Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah).
Pasal
68
Tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57,
Pasal 58, Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, pasal 62, Pasal 63, Pasal
64, Pasal 65, Pasal 66, dan Pasal 67 adalah pelanggaran.
Pasal
69
Jika seseorang
melakukan lagi pelanggaran yang sama dengan pelanggaran yang sama
dengan pelanggaran pertama sebelum lewat jangka waktu satu tahun
sejak tanggal putusan pengadilan atas pelanggaran pertama yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, maka pidana yang dijatuhkan terhadap
pelanggaran yang kedua ditambah dengan sepertiga dari pidana kurungan
pokoknya atau bila dikanakan denda dapat ditambah dengan setengah
dari pidana denda yang diancamkan untuk pelanggaran yang bersangkutan.
Pasal
70
(1) Surat izin
mengemudi dapat dicabut untuk paling lama 1 (satu) tahun, apabila
dilakukan :
a. pelanggaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a, dan huruf
b, Pasal 24 ayat (1) huruf a, Pasal 27 ayat (1);
b. tindak pidana
kejahatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 359, Pasal 360, Pasal
406, Pasal 408, Pasal 409, Pasal 410, dan Pasal 492 kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana, dengan menggunakan kendaraan bermotor.
(2)
Surat izin mengemudi dapat dicabut untuk paling lama 2 (dua) tahun
dalam hal seseorang melakukan lagi pelanggaran sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal
putusan Pengadilan atas pelanggaran terdahulu yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal
72
Pada
tanggal mulai berlakunya Undang-undang ini, semua peraturan pelaksanaan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1965 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan Raya (Lembaran Negara Nomor 25 Tahun 1965, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2742) dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Undang-undang ini.
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
KETENTUAN PENUTUP
Pasal
73
Pada saat mulai
berlakunya Undang-undang ini, maka Undang-undang Nomor 3 Tahun 1965
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya (Lembaran Negara Nomor
25 Tahun 1965, Tambahan Lembaran Negara nomor 2742) dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal
74
Undang-undang
ini mulai berlaku pada tanggal 17 September 1992.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan
di Jakarta
pada
tanggal 12 Mei 1992
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SOEHARTO
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal 12 Mei 1992
MENTERI/SEKRETARIS
NEGARA
REPUBLIK
INDONESIA,
ttd.
MOERDIONO
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1992 NOMOR 49